Jumat, 20 April 2012

Perjalanan KARTINI Era Modern

Biografi Raden Adjeng Kartini
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.

R.A Kartini
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.

Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Sekolah Kartini (Kartinischool), 1918.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, R.M. Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Kartinischool


Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

 

............................................Kisah Kartini Modern.......................................

Wanita Ideal Masa Kini: Di Kantor Atau Di Rumah?  
CITRA ideal wanita Indonesia masa kini memang belum ada pembakuan yang pasti. Dengan kata lain, citra ideal yang muncul masih sangat beragam, tumpang tindih, bahkan simpang siur. Tidak ada keseragaman dan kesepakatan konseptual ikhwal citra ideal wanita zaman modern ini.
Yang terjadi adalah bahwa para wanita menjalani peran sosialnya secara improvisatoris. Tak jarang, mengikuti pola-pola yang sedang dominan dan menjadi acuan banyak orang. Hal ini tentu saja sekadar reaksi dari tiadanya pembakuan citra ideal wanita masa kini. Semuanya serba reaktif, dan tanpa perencanaan yang jelas, untuk tidak menyebut ngawur.

Tradisional dan Modern
Di kota-kota besar misalnya, peran ideal wanita yang dibangun secara sosial adalah menjadi bagian dari peran-peran modernisasi dan ekonomisasi. Dengan kata lain, wanita akan disebut ideal jika dia berkarier akibat dibentuk oleh atmosfir kebudayaan kota yang dipengaruhi oleh nilai-nilai modernisme dan kapitalisme.
Hal itu jelas berbeda dengan konsepsi ideal di kawasan kota-kota kecil atau di pedesaan. Pandangan kuno yang menyebutkan peran wanita konco wingking (teman di belakang) masih dominan dan menjadi acuan tunggal bagi wanita yang lahir, tumbuh, dan besar di kawasan ini. Bagi mereka, menjadi wanita ideal adalah menjadi wanita yang tidak terlalu berpikir serius soal pekerjaan, karier, dan sejenisnya.

Wanita ideal dalam versi masyarakat tradisional adalah menjadi bagian sistem kebudayaan kolot yang menempatkan wanita sebagai komponen rumah tangga yang berperan sebagai "teman bagi pria". Sebagai teman, dirinya tidak boleh menonjol, apalagi menjadi pemeran utama, yaitu pria. Kalaupun para wanita harus mencari nafkah, itu semata karena kondisi yang memaksa. Itu hanya sekunder

Idealnya, di mata para kaum tradisionalis, wanita itu sebaiknya tetap di rumah, mengurus suami dan anak. Wanita tidak boleh terlalu terpesona oleh tawaran modernisme dan kapitalisme yang dapat memberinya peran dalam mekanisme kebudayaan tersebut.

Dua Citra Ideal
Apabila dicermati, pada dasarnya kaum wanita masa kini menghadapi masa transisi yang lumayan panjang dalam kaitan pemenuhan citra idealnya sebagai wanita. Di satu sisi, ada tawaran untuk mengarungi arus modernisme dengan segala dinamikanya cenderung mempesona. Di sisi lain, peran tradisional yang dibakukan selama berabad-abad dan sudah melembaga dalam kebudayaan, menawarkan romantisme akan peran wanita yang luhur, yaitu menjadi ibu rumah tangga

Dua citra ideal yang saat ini diperhadapkan kepada kaum wanita itu terus saja membayang-bayangi langkah mereka. Hal ini menjadi lebih terasa ketika seorang wanita berada di tengah-tengah struktur mobilitas sosial, misalnya sedang menempuh pendidikan tinggi.

Adalah jelas bahwa, perguruan tinggi sebagai bagian dari institusi modern merupakan tangga suatu mobilitas sosial. Para wanita yang masuk di dalamnya hampir dapat dipastikan memperoleh semacam tiket untuk mengakses struktur sosial yang lebih tinggi, entah itu pekerjaan, prospek ekonomi, presentasi, dan prestise (gengsi). Tidak semua wanita beruntung dapat masuk ke perguruan tinggi. Ini berarti, tak semua wanita bisa punya tiket untuk mengakses struktur kemoderenan. Dan justru di sinilah letak masalahnya. Di satu sisi mereka punya peluang untuk menjadi wanita hebat, wanita perkasa yang dapat mandiri secara sosial ekonomi. Tetapi di sisi lain, mereka juga merasa khawatir dengan peran-peran lama yang ditawarkan oleh romantisme kebudayaan tradisional. Akankah mereka bisa menjadi wanita ideal dengan mengacu kepada modernisme melulu ?

Ada gejala di Indonesia, terutama di kota-kota besar, kaum wanita mulai banyak yang mempertanyakan (menggugat) konsepsi citra ideal wanita masa kini. Benarkah menjadi wanita ideal itu mesti berkarier dan mencari nafkah? Itulah tema yang saat ini mulai menyentak kesadaran kaum wanita yang masuk dalam dunia modern dengan segala pesonanya yang begitu menjanjikan dan, kadang-kadang, memabukkan.

Kisah seorang wanita karier stres karena tidak menikah pada usia senja, rasanya sudah klasik. Kendati demikian, ini memang menjadi suatu masalah paling serius yang dihadapi para wanita modern yang sudah memastikan diri terjun menjadi wanita karier. Di hadapannya terbentang masalah besar: apakah dia harus memihak karier, dan mengesampingkan segala tuntutan tradisional bahwa seorang wanita mesti menikah dan melahirkan keturunan.

NB:
Pada sekarang ini masih banyak diskriminasi gender terhadap kaum perempuan. Sebagai contoh masih adanya budaya patriarki di dalam keluarga, dan maraknya perdagangan manusia khusunya "perempuan".


Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini
http://www.gky.or.id/buletin/detail/177.htm

0 Komentar:

Posting Komentar

 
!!!!Ingat pesan BUNG KARNO: JANGAN SEKALI-SEKALI MELUPAKAN SEJARAH!!!!