Minggu, 01 April 2012

Order Demo (Demo dijadikan Industri)

Wajah pria berperawakan sedang itu menyeringai. Senyumnya menahan tawa, ketika disebut dirinya disebut mendirikan perusahaan, “Demonstrasi Bayaran”. Realitasnya, kantor di kawasan, Jakarta Selatan itu, berfasilitas canggih, lengkap, nyaman dan ber-AC. Dua line nomer telepon, satu faksimile dan lima buah perangkat komputer PC dan satu komputer Macintosh, menjadi bagian dari kantornya yang tertata rapih itu.

“Kalau demo bayaran mah udah dari jaman baheula dimulai”,  jelasnya. Aktivis pro-demokrasi yang kini sedang kuliah S2 ini, ini mengakui, sewaktu jaman Soeharto mau diturunkan, banyak pihak asing yang juga memberikan uang untuk para pendemo. Tergantung apa kepentingan mereka pada masa itu. “Hanya bentuknya lebih pada proposal sosialisasi demokratisasi,” tuturnya.


Si “bos” sebut saja begitu, mengaku kantornya hanyalah kumpulan dari para aktivis dan “pelaku komunikasi“. Jika ada sebutan, “demo bayaran” bukanlah suatu hal baru. Kalangan aktivis menyebutnya, sebagai parasit demokrasi. “Motifnya bukan lagi idealisme, akan tetapi sudah menjadi bisnis atau motif mencari uang,” ujarnya.

Gerakan pengerahan massa dengan motif ekonomi, apakah itu kepentingan bisnis atau non bisnis, berkembang. Jika beberapa waktu lalu, masih terselubung, makin ke sini terkuak lebar. Seperti yang diungkap tokoh organisasi Tuna Rungu. “Ada siasat sebagian kalangan yang memanfaatkan para penyandang tuna rungu untuk dimobilisasi ikut dalam demonstrasi,” jelasnya.

Dari pengakuan sang korlap (koordinator lapangan), para pendemo dibayar Rp 250 ribu perorang. “Saya tidak yakin, sebesar itu. Paling Rp 100 ribu, per orang, dengan perjanjian, jam tiga sore sudah pulang” timpal aktivis lain.
Matra Indonesia menyusup dan menemukan pengakuan, dalam aksi “goyang SBY”, ada anak berusia 14 tahun yang disuruh memakai baju pocong dan dibayar Rp 20 ribu. Ketika ditanya, si pendemo polos saja, tanpa mengerti maksud dari yang perankannya itu. “Seru aja,” ujarnya pendek.

Sebelumnya, si “bos” menjelaskan, ia mengetahui ada pihak lain yang mendapat order dalam kasus demo “cicak-buaya”. Tukang ojek banyak diminta untuk ikut demo. Dalam pengakuannya mengatakan, bahwa dirinya bukan dibayar, namun dia telah menerima “ganti ongkos ojek” Rp 25 ribu.
Hal yang sama terjadi dalam aksi demonstrasi “tandingan” yang menginginkan tetap dilanjutkan ke pengadilan. Seperti diungkapkan sang pengunjuk rasa: "Kami diberi uang antara Rp 20 ribu sampai Rp 25 ribu bagi mereka yang menggunakan motor, dan diberi kupon," kata salah seorang pendemo yang mengaku warga Pademangan, Jakarta Utara. ”Siapa yang mengorder, biasanya rantai putus, bisa juga rekanan,” jelas Edo, aktivis yang ada hubungannya dengan “gurita cikeas” .

Bagi sebagian aktivis, “ongkos demo” tak sama dengan “demo bayaran”.  Tapi bagi masyarakat umum, intinya sama. Menggerakan orang atau “pasukan” perlu sejumlah dana. Tak hanya, urusan politik. Demo kerap dipakai, misalnya untuk “menggusur”. Dari rumah, perselisihan tanah, sampai menutup tempat maksiat. “Setoran diterima, demo tak ada lagi,” seorang manajer sebuah motel menjelaskan. “Kami pernah mendapat order dari seorang taipan,” ujar Andri, aktivis lain yang mengaku mendapat order dari IHS, esoknya malah dari pengacara ternama. Ia menyebut, nama pengusaha berinisial GY dan AS yang berseteru di pengadilan. “Akan tetapi, keduanya ikut menyertakan gerakan massa, untuk saling mendukung kepentingan satu pihak dan menyerang kepentingan pihak lainnya,” tuturnya.

Pria yang mempunyai lima hape ini, mengakui sering mendapat kerjaan “menggerakan” orang. Ia pun mampu merancang seminar pesanan, dan penggiringan opini di media massa. “Lue mau Gue ada,” jelasnya, menyebut jenis PT-nya LMGA.

Aktivis pemuda yang kini, juga tidak muda itu, mengaku punya jaringan demo di pelbagai sektor. “Mau demo, dengan massa yang berusia tua atau anak juga bisa, perempuan pun boleh. Hanya, yang honornya lebih mahal, mahasiswa,” tuturnya. Tersedia pula, paket-paket lengkap dengan harga terjangkau dan sesuai permintaan klien.  Rp 15 juta beres, termasuk kaus, spanduk sampai metro mini.

”Perusahaan si bos” bahkan memikirkan, plus, menyiapkan juga demo tandingan, jika mau. Jumlah massa tergantung besaran dana. “Ingat tahun 1998, yang ada Pamswakarsa?” ia bertanya. Si “bos” beserta kawan-kawannya mengaku ke Matra Indonesia,  menancapkan bisnis ini sebagai mata pencahariannya. Ia mampu menyekolahkan anaknya. Kini, walau bentuknya bukan sebagai pengusaha kena pajak (PKP), ia menyebut PT clandestine-nya lumayan berkembang dan punya anak buah militan.  "Bukan untuk demo, tapi public relation under cover," ujarnya. “Tahu bagaimana berorasi dan memberi entertaint dalam demonstrasi, sehingga bila difoto pun, bisa menarik,” tuturnya. Asal jangan seperti pernah kejadian tim lain, harusnya tema demo: manajemen sebuah stasiun TV brengsek. Eh, spanduk yang dibentangkan di gerbang masuk, justru, “turunkan harga BBM!”.

Si “bos” menceritakan, timnya siap dan tak akan pernah salah dalam memberi order semacam itu. “Kami pun, bisa menggerakan massa, dengan label agama tertentu atau beraliansi dengan organisasi masyarakat atau bahkan partai politik,” ungkapnya. “Kalau mau lihat demo itu bayaran atau tidak, lihat saja isu, atribut, dan pemahaman peserta demonstrasinya. Terkadang, benderanya dicetak banyak sesuai jumlah orang. Itu strategi saja, agar dalam foto dan life TV, bisa dijadikan barang bukti ke klien dan bisa mengesankan jumlah pesertanya banyak,” ia memberi trik.

Sejatinya, menurut beberapa aktivis yang ditemui MATRA Indonesia, pengerahan massa telah menjadi komoditi yang diorganisir untuk membangun opini publik seperti yang dikehendaki masing-masing pihak. Dan, terkuaklah lakon. “Ladang bisnis baru di tengah himpitan ekonomi khususnya di Ibukota,” kata mereka.
Bisnis pengerahan massa dalam bentuk yang berbeda tetapi bernilai komersil juga terjadi. “Ada order dari industri televisi kita,” ujar Alek, aktivis yang dikenal punya idealisme tinggi. “Kami tidak terima dengan adanya demo bayaran. Tapi, saya justru punya usaha, mengorganisir penonton acara-acara musik,” tuturnya.
Alek pun melanjutkan, acara semacam itu, membutuhkan banyak penonton untuk meramaikan dan membangun citra semarak, sementara menghadirkan banyak penonton dalam setiap harinya bukanlah pekerjaan mudah. Maka, “penonton bayaran” adalah jalan pintas yang dianggap efektif dan mudah.

“Ketika ada tawaran, dengan hanya ikut rame-rame, sambil teriak-teriak, tidak lama kemudian pulang dan dapat uang 50 ribu, siapa yang tidak tergiur dengan tawaran itu,” ujar DP, pengusaha unjuk rasa, yang berkantor di Benhil, Jakarta.

Pengusaha media dan link sms ini menyebut, bisnis mengorganisir massa adalah bisnis menarik. “Di kala, bisnis lain macet,” ujarnya sembari, tergelak tawa. Demo yang tak berujung ke arah kekerasan dan merangsek ke pidana, menyuburkan bisnis ini. Prinsipnya, “Maju tak Gentar Membela yang Bayar”.

Namun demikian, bukan berarti kita tidak dapat mengharapkan lagi kepada aksi-aksi demonstrasi dengan idealisme tinggi. Masih banyak juga demonstrasi yang didasari kesadaran dan partisipasi kritis dari masyarakat. “Sepertinya selalu saja ada harapan, kepada mereka yang konsisten memperjuangkan idealismenya, tanpa tergerus gejala industri demonstrasi,” sang pengusaha “unjuk rasa” ini berujar.

“Namun, bila Anda butuh pengerahan massa dalam jumlah manusia yang banyak,” si pengusaha itu pun memberi kartu nama. “Hubungi saya saja,” ujarnya, lantas memberi sebuah hotline center, yang kini di laci MATRA Indonesia.  Tertarik?

Dikutip :http://matranews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=66:order-demo&catid=12:investigasi&Itemid=16

0 Komentar:

Posting Komentar

 
!!!!Ingat pesan BUNG KARNO: JANGAN SEKALI-SEKALI MELUPAKAN SEJARAH!!!!