Wajah pria berperawakan sedang itu menyeringai. Senyumnya menahan
tawa, ketika disebut dirinya disebut mendirikan perusahaan, “Demonstrasi
Bayaran”. Realitasnya, kantor di kawasan, Jakarta Selatan itu,
berfasilitas canggih, lengkap, nyaman dan ber-AC. Dua line nomer
telepon, satu faksimile dan lima buah perangkat komputer PC dan satu
komputer Macintosh, menjadi bagian dari kantornya yang tertata rapih
itu.
“Kalau demo bayaran mah udah dari jaman baheula dimulai”, jelasnya.
Aktivis pro-demokrasi yang kini sedang kuliah S2 ini, ini mengakui,
sewaktu jaman Soeharto mau diturunkan, banyak pihak asing yang juga
memberikan uang untuk para pendemo. Tergantung apa kepentingan mereka
pada masa itu. “Hanya bentuknya lebih pada proposal sosialisasi
demokratisasi,” tuturnya.
Si “bos” sebut saja begitu, mengaku kantornya hanyalah kumpulan dari para aktivis dan “pelaku komunikasi“. Jika ada sebutan, “demo bayaran” bukanlah suatu hal baru. Kalangan aktivis menyebutnya, sebagai parasit demokrasi. “Motifnya bukan lagi idealisme, akan tetapi sudah menjadi bisnis atau motif mencari uang,” ujarnya.
Gerakan pengerahan massa dengan motif ekonomi, apakah itu kepentingan
bisnis atau non bisnis, berkembang. Jika beberapa waktu lalu, masih
terselubung, makin ke sini terkuak lebar. Seperti yang diungkap tokoh
organisasi Tuna Rungu. “Ada siasat sebagian kalangan yang memanfaatkan
para penyandang tuna rungu untuk dimobilisasi ikut dalam demonstrasi,”
jelasnya.
Dari pengakuan sang korlap (koordinator lapangan), para pendemo
dibayar Rp 250 ribu perorang. “Saya tidak yakin, sebesar itu. Paling Rp
100 ribu, per orang, dengan perjanjian, jam tiga sore sudah pulang”
timpal aktivis lain.
Matra Indonesia menyusup dan menemukan
pengakuan, dalam aksi “goyang SBY”, ada anak berusia 14 tahun yang
disuruh memakai baju pocong dan dibayar Rp 20 ribu. Ketika ditanya, si
pendemo polos saja, tanpa mengerti maksud dari yang perankannya itu.
“Seru aja,” ujarnya pendek.
Sebelumnya, si “bos” menjelaskan, ia mengetahui ada pihak lain yang
mendapat order dalam kasus demo “cicak-buaya”. Tukang ojek banyak
diminta untuk ikut demo. Dalam pengakuannya mengatakan, bahwa dirinya
bukan dibayar, namun dia telah menerima “ganti ongkos ojek” Rp 25 ribu.
Hal yang sama terjadi dalam aksi demonstrasi “tandingan” yang
menginginkan tetap dilanjutkan ke pengadilan. Seperti diungkapkan sang
pengunjuk rasa: "Kami diberi uang antara Rp 20 ribu sampai Rp 25 ribu
bagi mereka yang menggunakan motor, dan diberi kupon," kata salah
seorang pendemo yang mengaku warga Pademangan, Jakarta Utara. ”Siapa
yang mengorder, biasanya rantai putus, bisa juga rekanan,” jelas Edo,
aktivis yang ada hubungannya dengan “gurita cikeas” .
Bagi sebagian aktivis, “ongkos demo” tak sama dengan “demo bayaran”.
Tapi bagi masyarakat umum, intinya sama. Menggerakan orang atau
“pasukan” perlu sejumlah dana. Tak hanya, urusan politik. Demo kerap
dipakai, misalnya untuk “menggusur”. Dari rumah, perselisihan tanah,
sampai menutup tempat maksiat. “Setoran diterima, demo tak ada lagi,”
seorang manajer sebuah motel menjelaskan. “Kami pernah mendapat order dari seorang taipan,” ujar Andri, aktivis
lain yang mengaku mendapat order dari IHS, esoknya malah dari pengacara
ternama. Ia menyebut, nama pengusaha berinisial GY dan AS yang
berseteru di pengadilan. “Akan tetapi, keduanya ikut menyertakan gerakan
massa, untuk saling mendukung kepentingan satu pihak dan menyerang
kepentingan pihak lainnya,” tuturnya.
Pria yang mempunyai lima hape ini, mengakui sering mendapat kerjaan
“menggerakan” orang. Ia pun mampu merancang seminar pesanan, dan
penggiringan opini di media massa. “Lue mau Gue ada,” jelasnya, menyebut
jenis PT-nya LMGA.
Aktivis pemuda yang kini, juga tidak muda itu, mengaku punya jaringan
demo di pelbagai sektor. “Mau demo, dengan massa yang berusia tua atau
anak juga bisa, perempuan pun boleh. Hanya, yang honornya lebih mahal,
mahasiswa,” tuturnya. Tersedia pula, paket-paket lengkap dengan harga terjangkau dan sesuai
permintaan klien. Rp 15 juta beres, termasuk kaus, spanduk sampai
metro mini.
”Perusahaan si bos” bahkan memikirkan, plus, menyiapkan juga demo
tandingan, jika mau. Jumlah massa tergantung besaran dana. “Ingat tahun
1998, yang ada Pamswakarsa?” ia bertanya. Si “bos” beserta kawan-kawannya mengaku ke Matra Indonesia,
menancapkan bisnis ini sebagai mata pencahariannya. Ia mampu
menyekolahkan anaknya. Kini, walau bentuknya bukan sebagai pengusaha
kena pajak (PKP), ia menyebut PT clandestine-nya lumayan berkembang dan
punya anak buah militan. "Bukan untuk demo, tapi public relation under
cover," ujarnya. “Tahu bagaimana berorasi dan memberi entertaint dalam demonstrasi,
sehingga bila difoto pun, bisa menarik,” tuturnya. Asal jangan seperti
pernah kejadian tim lain, harusnya tema demo: manajemen sebuah stasiun
TV brengsek. Eh, spanduk yang dibentangkan di gerbang masuk, justru,
“turunkan harga BBM!”.
Si “bos” menceritakan, timnya siap dan tak akan pernah salah dalam
memberi order semacam itu. “Kami pun, bisa menggerakan massa, dengan
label agama tertentu atau beraliansi dengan organisasi masyarakat atau
bahkan partai politik,” ungkapnya. “Kalau mau lihat demo itu bayaran atau tidak, lihat saja isu,
atribut, dan pemahaman peserta demonstrasinya. Terkadang, benderanya
dicetak banyak sesuai jumlah orang. Itu strategi saja, agar dalam foto
dan life TV, bisa dijadikan barang bukti ke klien dan bisa mengesankan
jumlah pesertanya banyak,” ia memberi trik.
Sejatinya, menurut beberapa aktivis yang ditemui MATRA Indonesia,
pengerahan massa telah menjadi komoditi yang diorganisir untuk membangun
opini publik seperti yang dikehendaki masing-masing pihak. Dan,
terkuaklah lakon. “Ladang bisnis baru di tengah himpitan ekonomi
khususnya di Ibukota,” kata mereka.
Bisnis pengerahan massa dalam bentuk yang berbeda tetapi bernilai
komersil juga terjadi. “Ada order dari industri televisi kita,” ujar
Alek, aktivis yang dikenal punya idealisme tinggi. “Kami tidak terima
dengan adanya demo bayaran. Tapi, saya justru punya usaha, mengorganisir
penonton acara-acara musik,” tuturnya.
Alek pun melanjutkan, acara semacam itu, membutuhkan banyak penonton
untuk meramaikan dan membangun citra semarak, sementara menghadirkan
banyak penonton dalam setiap harinya bukanlah pekerjaan mudah. Maka,
“penonton bayaran” adalah jalan pintas yang dianggap efektif dan mudah.
“Ketika ada tawaran, dengan hanya ikut rame-rame, sambil
teriak-teriak, tidak lama kemudian pulang dan dapat uang 50 ribu, siapa
yang tidak tergiur dengan tawaran itu,” ujar DP, pengusaha unjuk rasa,
yang berkantor di Benhil, Jakarta.
Pengusaha media dan link sms ini menyebut, bisnis mengorganisir massa
adalah bisnis menarik. “Di kala, bisnis lain macet,” ujarnya sembari,
tergelak tawa. Demo yang tak berujung ke arah kekerasan dan merangsek ke
pidana, menyuburkan bisnis ini. Prinsipnya, “Maju tak Gentar Membela
yang Bayar”.
Namun demikian, bukan berarti kita tidak dapat mengharapkan lagi
kepada aksi-aksi demonstrasi dengan idealisme tinggi. Masih banyak juga
demonstrasi yang didasari kesadaran dan partisipasi kritis dari
masyarakat. “Sepertinya selalu saja ada harapan, kepada mereka yang
konsisten memperjuangkan idealismenya, tanpa tergerus gejala industri
demonstrasi,” sang pengusaha “unjuk rasa” ini berujar.
“Namun, bila Anda butuh pengerahan massa dalam jumlah manusia yang
banyak,” si pengusaha itu pun memberi kartu nama. “Hubungi saya saja,”
ujarnya, lantas memberi sebuah hotline center, yang kini di laci MATRA
Indonesia. Tertarik?
Dikutip :http://matranews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=66:order-demo&catid=12:investigasi&Itemid=16
0 Komentar:
Posting Komentar