Senin, 22 Oktober 2012

Pendidikan Indonesia Dari Kacamata Internasional dan Masa Kini



A.    PENDIDIKAN INDONESIA DARI KACAMATA INTERNASIONAL
Pendidikan Indonesia dirancang untuk bersaing secara langsung dengan dunia internasional. Indonesia yang notabenenya adalah sebagai Negara berkembang, dituntut pula untuk kemudian mampu secara internasional bersaing dan bersanding secara kualitas.
Berikut merupakan fakta dan data survey berbagai lembaga tentang pendidikan di Indonesia. Menurut survey Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Pposisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000) Indonesia memiliki daya saing yang rendah yaitu hanya menduduki urutan ke 37 dari 57 negara yang disurvey di dunia.
Kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat rendah tingkat kompetisi dan relevansinya (Parawansa, 2001; Siskandar, 2003; Suyanto, 2001). Laporan United Nation Development Program (UNDP) tahun 2005 mengungkapkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia menempati posisi ke-110 dari 117 negara.
Laporan UNDP dan PERC tersebut mengindikasikan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih relatif rendah, hal ini membuktikan bahwasannya masih banyak yang perlu diperbaiki baik dari segi kebijakan (undang-undang dan peraturan pemerintah) maupun segi pelaksanaan yang hari ini masih dengan pengawasannya yang tidak cukup ketat bahkan cenderung ‘lepas tangan’.

B.     POTRET PENDIDIKAN INDONESIA MASA KINI
Seperti halnya telah dipaparkan diatas, bahwasannya konsep pendidikan secara yuridis atau hukum telah sesuai dengan ideology dan peraturan dalam Undang Undang Dasar 1945, namun sangat disayangkan pada tahap implementasinya di lapangan masih terdapat berbagai permasalahan yang cukup krusial dan menuntut untuk diselesaikan.
Pertama, Apabila kita perhatikan dalam konstitusi pendidikan UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 dan peraturan pemerintah No.19 tahun 2005 ujian nasional dalam Undang Undang Sisdiknas pasal 57 sampai dengan pasal 59 hanya mengatur mengenai evaluasi pendidikan tidak hanya dengan bentuk ujian nasional. Namun apabila kita perhatikan pada peraturan pemerintah No.19 tahun 2005 barulah peraturan mengenai ujian nasional diamanatkan.
Ujian nasional merupakan salah satu bentuk evaluasi pendidikan yang pada saat ini digunakan dalam evaluasi pembelajaran di Indonesia. Meskipun pada November tahun 2009 Mahkamah Konstitusi telah memutuskan menghapus system yang berlaku pada Ujian Nasional (UN), namun system yang digunakan saat ini pun nampaknya belum terjadi perubahan yang signifikan.
Pada dasarnya tujuan ujian nasional adalah memberikan evaluasi terhadap peserta didik akan materi yang telah diterima selama masa studinya, namun dalam implementasi pada saat ini ujian nasional justru menjadi hal yang teramat menakutkan bagi para peserta didik, pasalnya ujian nasional hari ini dijadikan satu-satunya penentu kelulusan bagi para peserta didik. Hal inilah yang rutin setiap tahunnya menjadi sebuah pro kontra dikalangan masyarakat, bahkan tak ayal menjadi sebuah permasalahan yang teramat krusial.
System penilaian ujian nasional kini diubah persentasenya sesuai dengan keputusan bersama dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), sesuai kesepakatan dengan menjunjung prinsip keadilan yaitu 40% dari hasil ujian nasional dan 60 % dari hasil lapor belajar peserta didik di sekolah, padahal menurut sri martini dalam bukunya pengantar ilmu pendidikan, proses pendidikan merupakan kegiatan utama pengubah input (peserta didik) menjadi output disinlah peran utama pendidikan. Dalam aktivitas pendidikan tidak hanya melihat hasil, tetapi justru yang penting adalah prosesnya. Peserta didik yang hasil belajarnya baik, belum tentu karena adanya kecurangan dalam mengikuti test. Meskipun pada saat ini system penilaian ujian nasional telah dirubah persentasenya namun masih saja ujian nasional menjadi suatu hal yang menakutkan bagi peserta didik.
Apabila kita perhatikan tingkat kelulusan Ujian Nasional tahun 2010 pada jenjang SMA yang mengalami penurunan yang signifikan daripada hasil kelulusan Ujian Nasional pada tahun 2009, jika di tahun 2009 persentase kelulsan mencapai 95,05% sedangkan pada tahun 2010 persentasenya hanya mencapai 89,61%. Data yang diambil dari data kementerian pendidikan tersebut menggambarkan kurang relevannya model evaluasi pendidikan semacam Ujian Nasional digunakan, karena dalam pelaksanaannya hanya mendorong para pendidik dan peserta didik menggunakan berbagai macam cara untuk dapat lulus ujian nasional tanpa memperhatikan nilai dan norma yang selama masa studinya dipelajari, pasalnya ujian nasional sampai saat ini hanya berorientasi terhadap hasil nilai akhir semata, alih-alih evaluasi justru kehilangan jati diri karena menghalalkan segala cara untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam ujian nasional.
Kedua, aktivitas pendidikan tidak terlepas dari peran guru sebagai komponen yang penting dalam proses pembelajaran. Dalam pendidikan seorang guru adalah komponen yang secara langsung terlibat terhadap kualitas serta mutu pembelajaran.
Apabila kita tengok kepada sejarah Negara Jepang pada peristiwa perang dunia kedua, seorang kaisar yang pada saat itu menjabat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, seusai peperangan sang kaisar bertanya berapa jumlah guru yang bersisa setelah terjadinya peperangan?. Melalui pertanyaan ini kita sudah dapat menangkap betapa dihargainya peran seorang guru untuk kemudian memajukan serta membangun sebuah bangsa.
Guru adalah salah satu penentu kualitas pendidikan di Indonesia, namun dewasa ini kesejahteraan para guru masih perlu dipertanyakan. Bagaimana tidak, Berdasarkan survey Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) pada tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan sebesar tiga juta rupiah. Sekarang pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar 1.5 juta, guru bantu sebesar 460 ribu, dan guru honorerdi sekolah swasta rata rata 10 ribu perjam. Dengan pendapatan yang demikian, tidak cukup besar itulah banyak diantaranya guru yang mencari pekerjaan sampingan seperti menjadi penjual/wirausaha, tukang ojek, pedagang pulsa ponsel, dan lain-lain.
Yang paling mengenaskan adalah ada seorang guru yang mendapatkan jabatan fungsional sebagai seorang kepala sekolah di daerah Provinsi Jawa Barat harus memulung dan mengumpulkan barang bekas demi menyambung dan menutup kekurangan ekonomi keluarganya. Meskipun telah diamanatkan dalam konstitusi pendidikan mengenai kesejahteraan guru dan dosen pasal 10 sudah menjamin terkait kelayakan hidup setiap pendidik. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwasannya guru dan dosen akan mendapatkan penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yag melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya.
Ketiga, Rintisan dan atau Sekolah Bertaraf Internasional (R/SBI) adalah sebuah program pemerintah Indonesia yang berusaha meningkatkan dan menyamakan kualitas pendidikan Indonesia dengan dunia internasional. Namun, alih-alih menyamaratakan pendidikan Indonesia dengan dengan pendidikan internasional justru menjadi ‘boomerang’ tersendiri bagi pendidikan di Indonesia, bagaimana tidak R/SBI telah berhasil mengubah wajah pendidikan Indonesia menjadi beberapa kasta.
Data Kemendikbud terdapat 1.300 RSBI di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut hanya 0,65 % dari seluruh sekolah. Fenomena R/SBI merupakan salah satu implementasi dari Undang Undang SISDIKNAS pasal 50 ayat 3 yang berbunyi: Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Dengan adanya RSBI juga menimbulkan berbagai permasalahan yang krusial dan menjadi pro kontra di berbagai kalangan. Diantara pemasalahan yang timbul diantaranya adalah pengantar bahasa yang digunakan sekolah SBI adalah bahasa inggris, bentuk komersialisasi pendidikan yang menyebabkan adanya kastanisasi dan jurang pemisah siswa kaya dan siswa miskin, mempersempit kesempatan meraih pendidikan bagi rakyat miskin.
Dengan pengantar bahasa asing bahasa inggris, hal ini sedikit demi sedikit pasti mengikis keberadaan dan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di kalangan peeserta didik yang bersekolah di Sekolah Bertaraf Internasional. Mantan menteri pendidikan dan kebudayaan Daoed Joesoef yang dihadirkan Mahkamah Konstitusi dalam persidangan mengenai UU Sisdiknas, RSBI pun hanya mengerdilkan identitas bangsa terkait penggunaan bahasa asing sebagai pengantarnya, penggunaan bahasa inggris dalam pembelajaran juga adalah bentuk ketidaksesuaian dengan pasal 36 UUD 1945 yang berbunyi: bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia.
Menurut Daoed orang Inggris maju bukan karena bahasa inggris, tetapi karena mereka membiasakan anak didiknya menggali, mengenal dan mempelajari, menguasai menghayati, dan menerapkan nilai-nilai yang diakui oleh keluarganya, masyarakat, dan negaranya. Mantan Mendikbud ini pun menolak dan menuntut pemerintah untuk secepatnya meniadakan RSBI dari system pendidikan nasional.
Komersialisasi pendidikan mungkin hal inilah yang relevan menggambarkan pelaksanaan pada RSBI. Salah satu pelaksanaannya adalah terdapat di SMA N 70 Jakarta , menrut Musni Umar selaku ketua komite, total Anggran Pendapatan Dan Belanja Sekolah (APBS) SMA 70 Jakarta sekitar 15 miliar bersumber dari orang tua siswa, sedangkan pemerintah hanya sekitar 4,7 miliar. Selain itu, yang terdapat di SMA 70 Jakarta sumbangan peserta didik untuk kelas regular dan akselerasi sebesar Rp11,2 juta, sedangkan untuk kelas internasional jumlahnya sekitar Rp31 juta untuk tahun pertama, Rp24 juta untuk tahun kedua, dan Rp18 juta untuk tahun ketiga. Selain itu, ada sumbangan rutin bulanan pada kelas regular sebesar Rp450 ribu dan kelas akselerasi Rp1 juta.
Dengan data yang disebutkan tersebut sangat jelas menggambarkan bahwa R/SBI telah melanggar hak konstitusional masyarakat karena biaya yang seharusnya ditanggung pemerintah malah dibebankan kepada orang tua siswa. Akibat dari berbagai kebijakan ini sangatlah jelas menciptakan ketidakadilan, menciptakan jurang pemisah sekaligus kesenjangan social, sebab hanya siswa yang berasal dari kalangan yang memiliki kemampuan financial yang tinggilah yang dapat menikmati pendidikan internasional tersebut.
Realitas ini berbanding terbalik dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, pasal 11 ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa diskriminasi”, dan pasal 31 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan. Dengan adanya Undang Undang System Pendidikan Nasional pasal 50 ayat 3 tentang ini perlu kiranya dilakukan peninjauan kembali terhadap keberadaan pasal terkait,sekaligus sidang uji materi yang adil agar pendidikan dapat dirasakan semua warga Negara tanpa terkecuali.
Permasalahan pendidikan yang masih perlu dibenahi hari ini juga adalah terkait anggaran srta pembiayaan pendidikan. Dalam Undang Undang 1945 menyatakan bahwasannya “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dan anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Yang patut menjadi sebuah pernyataan adalah sangat disayangkan dana alokasi pendidikan seperti yang dinyatakan dalam konstitusi tersebut masih termasuk gaji pendidik dan tenaga kependidikan, serta dibagi kepada beberapa kementerian yang menyelenggarakan pendidikan kedinasan. Padahal dalam Undang Undang System Pendidikan Nasional pasal 49 ayat 1 diamanahkan bahwa, “ dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sector pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).”

Berikut adalah gambaran terkait anggaran pendidikan tahun 2012:
A
ALOKASI PEMERINTAH PUSAT
101.547
35,02%
B
TRANSFER KE DAERAH
186.372
64,27%
C
DANA PENGEMBANGAN PENDIDIKAN NASIONAL
1.000,0
0,34%

Anggaran Fungsi Pendidikan
289.960,00


APBN
1.435.000


Prosentase Anggaran Fungsi Pendidikan
20,21%

Sumber: presentasi M Nurhasan Zaidi(anggota komisi X FPKS 2012)
Dari table yang telah tersaji diatas menunjukkan persentase anggaran pendidikan tahun 2012 mengalami peningkatan 0,21%. Asumsinya dengan adanya peningkatan kebijakan anggaran seharusnya dapat menopang berkembangnya kinerja maupun kualitas pendidikan Indonesia.
Yang menjadi persoalan anggaran pendidikan dewasa ini adalah (1) Kegagalan alokasi anggaran Prioritas anggaran terlalu banyak, sehingga kebutuhan dasar tidak terpenuhi. (2) Kegagalan distribusi anggaran yang disebabkan tidak adanya data yang tidak valid di pusat, dan (3) Kurangnya informasi akses anggaran bagi pemerintah daerah, serta Kegagalan Implementasi Anggaran Pelaksanaan program tidak sesuai dengan perencanaan dan panduan yang disusun.
Berbagai persoalan yang timbul dalam pelaksanaan anggaran pendidikan nampaknya perlu di beri pengawasan yang gambling serta transparansi dana yang valid sangatlah diperlukan. Hal ini dikarenakan permasalahan yang terkait dengan keuangan sangatlah rawan terhadap berbagai penyimpangan. Berikut disajikan data terkait penympangan anggaran pendidikan yang telah dikaji oleh Indonesian Corruption Watch di institusi pendidikan tahun 2009:
No
Institusi tempat korupsi
Jumlah Kasus
Kerugian Negara
(Rp Miliar)
1
Dinas Pendidikan (Provinsi, Kabupaten dan Kota)
70
204.3
2
Sekolah/Madrasah
46
4.1
3
Perguruan Tinggi
7
12.1
4
Sekretariat Daerah
6
8.0
5
Kanwil Depag
5
1.8
6
Badan Negara
1
2.6
7
DPRD
1
1.6
8
LSM
1
1.0
9
Organisasi Guru
1
1.0
10
Ormas
1
0.5
11
Perpustakaan Daerah
1
0.0
12
Depdiknas
2
6.3

Total
142
243.3
Kerugian yang harus ditanggung Negara akibat penyimpangan dalam pencairan dana pendidikan yang mencapai 243,3 miliar rupiah inilah yang menghambat berkembangnya pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan memang ketika dana yang seharusnya dapat dikembangkan untuk pemerataan pendidikan guna pembanguna bangsa malah justru jatuh ke kantong tikus-tikus berpendidikan.
Dari berbagai permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada saat ini, sudah menjadi tugas besar pemerintahan dan stake holder pemerintah serta masyarakat untuk saling bersinergi memperbaiki keadaan sekaligus permasalahan saat ini. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Para pendiri bangsa meyakini bahwa peningkatan taraf pendidikan merupakan salah satu kunci utama mencapai tujuan negara yakni bukan saja mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga menciptakan kesejahteraan umum dan melaksanakan ketertiban dunia.
Pendidikan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan
bangsa serta memberi kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial. Pendidikan akan menciptakan masyarakat terpelajar (educated people) yang menjadi prasyarat terbentuknya masyarakat yang maju, mandiri, demokratis, sejahtera, dan bebas dari kemiskinan. Melalui moment hari pendidikan nasional inilah patut kiranya untuk kemudian berintrospeksi diri guna perbaikan pendidikan yang adil dan dapat dirasakan oleh semua kebermanfaatannya.

Ganis. Masalah Pendidikan Indonesia. http://www.ganis.blogspot.com. Diunduh tanggal 26 februari 2012
Sri martini, Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta. Tahun 2011, page 19
Nurul Adriyana, RSBI Tindakan keliru Dalam Sisdiknas, Kompas edisi 16 Mei 2012
Syarief Oebadillah, RSBI Andalkan dana orangtua murid. Media Indonesia edisi 16 Mei 2012

Dikutip dari:
http://edukasi.kompasiana.com/2012/08/19/pendidikan-indonesia-riwayanya-kini/

0 Komentar:

Posting Komentar

 
!!!!Ingat pesan BUNG KARNO: JANGAN SEKALI-SEKALI MELUPAKAN SEJARAH!!!!