NOVEMBER menjadi bulan paling
menentukan bagi bangsa Indonesia. Karena di bulan inilah Hari Pahlawan
diperingati setiap tahun. Sejauh ini sudah 68 tahun pertempuran heroik revolusi
Surabaya diperingati sebagai Hari Pahlawan. Tahun ini dwitunggal proklamator RI
pun mendapat gelar pahlawan nasional.
Ada sebuah pertanyaan menggelitik yang pantas
dilontarkan. Sejatinya, momen Hari Pahlawan apakah hanya dikhususkan bagi para
pahlawan yang telah kusuma bangsa? Atau para pahlawan itu bisa diartikulasikan
bagi mereka yang sekarang masih hidup di Tanah Air Indonesia.
Jika Hari Pahlawan bisa diapresiasikan bagi mereka
yang masih hidup, siapakah yang pantas mendapat apresiasi? Apakah pemerintah
kita yang telah lama bekerja keras? Ah, kayaknya masih belum pantas. Hingga
detik ini, grasi-grasi pengampunan buat gembong narkoba tetap diturunkan.
Ladang minyak dan ladang gas yang seharusnya buat kesejahteraan rakyat,
ternyata lebih banyak dijual kepada asing. Hampir 75% potensi mineral kita
dikuasai oleh pemerintah asing, dan kita sebagai rakyat hanya bisa menjadi
penonton.
Apakah apresiasi bisa diberikan kepada wakil rakyat
kita di parlemen? Bukankah mereka telah bekerja keras menyuarakan aspirasi kita
di parlemen? Ah, rasanya terlalu suci buat mereka. Hingga hari ini, korupsi dan
penyalahgunaan wewenang masih menghinggapi para wakil rakyat. Korupsi berjamaah
terus-terusan diulang, baik dari kasus Century hingga Pembangunan Hambalang.
Hampir setiap hari, kita disuguhi berita mengenai kebusukan para wakil rakyat
di parlemen negara kita.
Lalu, siapakah yang berhak. Apakah, para
pengusaha-pengusaha negara ini yang berjasa memperkerjakan ribuan rakyat? Ah,
kadang harta yang mereka miliki pun malah membuat negara ini terjerumus ke
dalam kesengsaraan. Banyak pengusaha menyuap, menjadikan birokrat negara tidak
jujur terhadap tugasnya. Bahkan, jika usaha-usaha strategis mereka bangkrut.
Mereka merengek-rengek kepada pemerintah untuk meminta talangan. Uang dari manakah
itu? Pastinya uang rakyat dan digunakan hanya untuk kepentingan pribadi.
Memperkaya diri sendiri dan melupakan pertolongan dari rakyat.
Ah, kadang hari pahlawan terlalu fana untuk
disematkan kepada para pengambil kebijakan di negeri ini. Sepertinya
nilai-nilai kepahlawanan semakin memudar di sanubari para pemimpin negeri ini.
Kadang kita perlu berpikir, sudah saatnya Hari Pahlawan menjadi momentum
mengembalikan nilai-nilai perjuangan, integritas dan kejujuran dalam masyarakat
ini. Lalu, apakah perjuangan mengembalikan nilai-nilai perjuangan telah mati?
Selama bertahun-tahun, ada masyarakat petani di
pedesaan yang selalu berjuang tanpa pamrih dalam bekerja. Walaupun harga pupuk
tinggi akibat dikorupsi aparatur negara, mereka tetap bekerja apa adanya.
Walaupun pemerintah memutuskan impor beras dan membuat harga beras lokal jatuh.
Mereka tetap sabar menerima kebijakan ini. Mereka terus bekerja keras untuk
bertahan hidup, membanting tulang demi keluarga. Begitu juga di sudut-sudut
kota yang kumuh. Puluhan wanita bakul pasar bangun pagi-pagi hanya untuk
mengejar angkutan kota. Anak-anak sekolah bersepeda di tengah embun-embun
basah, para pengayuh becak senantiasa menanti penumpang dengan sabar.
Walaupun hidup dengan sederhana, mereka tetap
sabar, jujur dan bekerja keras, menerapkan nilai-nilai humanis dan ikhlas dalam
bekerja. Merekalah potret pahlawan sesungguhnya. Merekalah yang mengisi dan
melanjutkan denyut nadi perekonomian bangsa, serta menjadikan bangsa ini tetap
kukuh dalam kepribadian. Seharusnya merekalah yang setiap tahun mendapat gelar
sebagai pahlawan Indonesia.
Subandi Rianto
Mahasiswa Ilmu Sejarah
Universitas Airlangga
Menteri Kebijakan Publik BEM UNAIR 2012
sumber:
http://kampus.okezone.com/read/2012/11/09/367/716077/mencari-pahlawan-indonesia-dalam-realitas
0 Komentar:
Posting Komentar