Selasa, 11 Desember 2012

Penerapan Pendekatan Humanistik Dalam Pembelajaran Bahasa Jawa: Alternatif Pengembangan Budi Pekerti Luhur


A.    Purwaka
Dari hasil penelisikan Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Jawa (selanjutnya akan disebut KBJ) untuk Jenjang Pendidikan Dasar (SD dan SMP) sebagaimana tertuang dalam Keputusan Gubernur Jawa Timur nomor 1888/188/KPTS/013/2005, tersurat bahwa KBJ mengimperasi para pelaksananya untuk menggunakan pendekatan pembelajaran bahasa yang didasarkan pada pandangan instrumentalisme, yaitu pandangan yang menempatkan bahasa sebagai alat komunikasi. Padahal jika ditilik dari kebutuhan siswa, tampaknya hal itu jauh dari angan-angan siswa karena mereka sudah dapat berkomunikasi dengan bahasa lain, yaitu bahasa Indonesia. Bahkan, telah menghinggapi angan mereka juga bahwa berkomunikasi dengan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya lebih prestisius. Oleh karena itu, timbul pertanyaan, masih relevankah mengajarkan bahasa Jawa kepada siswa SD dan SMP di tengah hiruk-pikuk arus globalisasi jika pendekatannya berkiblat ke instrumentalisme seperti itu?
     Di sisi lain, manakala dicermati latar belakang penyelenggaraan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah (selanjutnya disingkat PBJ) terbesit juga niatan penyelenggaraan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah untuk membentuk kepribadian yang njawani pada diri siswa, agar identitas lokal tidak tercerabut oleh arus global. Bahkan, niatan itu kini memperoleh tiupan angin segar dari ikon pentingnya pendidikan karakter bangsa, pendidikan kepribadian, pendidikan budi pekerti luhur dan sejenisnya. Oleh karena itu, timbul pertanyaan juga, tidak mungkinkah meredifinisi urgensi PBJ yang lebih relevan dengan konteks perkembangan masyarakat sekarang.
Jika redifinisi urgensi itu dapat diterima, maka diperlukan pemilihan dan penataan kembali pendekatan yang sesuai, seperti misalnya pendekatan humanistik, pendekatan etnografik, kros-kultural dan sejenisnya. Setidak-tidaknya kiblat pandangan penyelenggaraan PBJ perlu menoleh pada determenisme yang menempatkan bahasa sebagai ciri hakiki manusia sebagai hommo simbolicum. Pengejawantahan kesejatian manusia sebagai makhluk lambang, makhluk 'pralambang', demikian menurut Cassirer (1998), memuncak pada bahasa sebagai karakteristik manusia yang membedakan dengan makhluk-makhluk lain. Dalam konteks itulah, penerapan pendekatan humanistik yang berlandaskan paham deteremenisme patut ditatap sebagai cakrawala ke depan sembari berjalan terseok di landasan instrumentalisme.

B.     Instrumentalisme vs Determinisme
Sesuai dengan prinsip-prinsip dalam linguistik edukasional, pembelajaran bahasa seyogyanya mengitegrasikan konsep-konsep yang berkaitan dengan hakikat bahasa, karakteristik pembelajar, kualifikasi pengajar, dan latar sosial dan kultural yang terkait di dalamnya. Dalam perspektif PBJ, harus diakui bahwa bahasa Jawa bukanlah sebagai bahasa ibu bagi sebagian besar pembelajarnya, walaupun juga bukan sebagai bahasa asing bagi mereka karena kesehariannya mereka berhadapan dengan situasi penggunaan bahasa Jawa juga. Pemosisian yang tepat akan hakikat bahasa Jawa bagi pembelajarnya menjadi titik pijak (starting point) yang menentukan proses berikutnya yang berkaitan dengan PBJ. Demikianpun, ketika tersembul pengakuan bahwa bahasa Jawa menyimpan nilai-nilai luhur di dalamnya seperti unggah-ungguh, kesantunan, kesusilaan, dan sebagainya, hal itu menunjukkan bahwa penyelenggaraan PBJ tidak sekadar mengajarkan keterampilan berbahasa melainkan juga mengajarkan nilai-nilai luhur tersebut.
Siapakah mereka yang belajar bahasa Jawa itu? Dari segi usia, mereka yang berada di jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP), secara psikolinguistis adalah insan-insan yang berada pada tahapan perkembangan bahasa sebelum mencapai periode kritis dalam akuisisi bahasa. Hal itu berarti tingkat pintu kesiap-sediaan memperoleh bahasa baru di luar bahasa yang telah dikuasainya masih terbuka lebar. Tidak sedikit fakta yang telah membuktikan kebenaran teori tersebut jika diingat bahwa anak-anak diakui lebih cepat menguasai bahasa baru yang diperolehnya daripada orang tuanya. Kasus kepindahan keluarga dari tempat yang satu ke tempat yang lain yang berbeda bahasa utamanya (bandingkan: lingua-franca), sering diiringi oleh kemampuan adaptasi bahasa pada anak-anaknya yang lebih baik dan oleh karena itu pemerolehan bahasa baru di tempat barunya juga lebih maju dibandingkan kedua orang tuanya. Kondisi psikolinguistis yang demikian tersebut, sesungguhnya merupakan modal dasar yang perlu dioptimalkan bagi penyelenggaraan PBJ.
Secara sosiolinguistis, seperti yang telah disinggung di muka, para pembelajar bahasa Jawa di Jawa Timur khususnya merupakan bagian dari masyarakat bilingual atau masyarakat dwibahasa. Tidak menutup kemungkinan dari antara mereka justru telah menjadi dwibahasawan aktif berbagai bahasa (bahasa Indonesia, bahasa Madura, bahasa Inggris, dan bahasa Jawa). Akan tetapi ada juga yang masih sebagai dwibahasawan pasif dalam bahasa Jawa, yakni ia berada sebagai bagian masyarakat dwibahasawan yang dapat meresepsi tuturan bahasa Jawa, tetapi belum -untuk tidak mengatakan tidak-- memiliki kecakapan produktif bahasa Jawa. Realitas kedwibahasaan tersebut merupakan atmosfir kondusif bagi penyelenggaraan PBJ. Persoalannya sekarang terletak pada pemanfaatannya dalam penentuan kebijakan bahasa (language policy), khususnya di bidang pembelajaran. Dari perspektif ini, kebijakan hari bahasa Jawa di sekolah-sekolah memperoleh pertanggungjawabannya, sehingga seharusnya perlu didukung oleh semua pihak.
Ihwal kualifikasi pengajar, pastilah tidak perlu diragukan! Walaupun masih ada segelintir pengajar bahasa Jawa yang secara formal tidak berlatar belakang pendidikan akademis yang bersesuaian, dalam konteks sekarang dan yang akan datang dapat diharapkan lambat laun akan dicapai kualifikasi pengajar bahasa Jawa yang mumpuni. Pengajar bahasa Jawa pastilah mereka yang telah terukur dalam kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Hal itu terbukti tidak sedikit di antara pengajar bahasa Jawa yang kini telah lulus sertifikasi. Oleh karena itu dari sisi kualifikasi pengajar, penyelenggaraan PBJ dapat dikatakan tidak memiliki problema berarti. Apalagi yang bisa diragukan dari para pengajar bahasa Jawa saat ini? Masih adakah pengajar bahasa Jawa yang tidak fasih berbahasa Jawa, atau tidak luwes berdendang tembang Jawa? Dalam kualifikasi semacam itu berarti pengajar bahasa Jawa dapat sekaligus berperan sebagai penutur asli (native speaker) yang memang diperlukan dalam pembelajaran bahasa.
Latar sosial dan kultural PBJ di wilayah provinsi Jawa Timur amatlah jelas. Masyarakatnya sebagian besar terdiri atas suku Jawa, hanya untuk beberapa tempat lebih banyak suku Madura, di samping juga berbaur dengan suku-suku lain. Meskipun ada juga budaya selain Jawa, tetapi tidaklah berlebihan jika dikatakan kebudayaan Jawa dengan segala manifestasinya lebih mewarnai provinsi ini. Pergelaran wayang kulit yang notabene tersajikan dengan bahasa Jawa tidak terlalu sulit dijumpai. Singkat kata dari segi latar sosial dan kultural, PBJ di provinsi Jawa Timur ibarat tuan rumah di negeri sendiri, dan bukan tamu di negeri asing, dan seharusnya juga tidak sebagai tamu di negeri sendiri.
Atas dasar itu semua, tampaknya mengancangi PBJ dengan asumsi aksiomatis seperti dianut pendekatan komunikatif (disingkat PK) perlu diulang-renungkan. Sekadar bukti digunakannya PK dalam PBJ berdasarkan KBJ dapat disebut sebagai berikut. Di bagian pengertian dirumuskan bahasa merupakan sarana untuk saling berkomunikasi, saling berbagi pengalaman,… dan di bagian rambu-rambu terumus pendekatan pengajaran bahasa Jawa lebih ditekankan pada penggunaan bahasa Jawa yang baik dan benar terlebih unggah-ungguh basa untuk berkomunikasi. PK berasumsi bahwa bahasa adalah alat komunikasi, oleh karena itu pembelajaran bahasa tidak lain dan tidak bukan melatih siswa agar dapat menggunakan bahasa tersebut dalam komunikasi. Menyadari bahwa komunikasi itu berlangsung dalam aneka kondisi dan situasi, maka pelatihan penggunaan bahasa juga dirancang dalam aneka situasi komunikasi. Pelatihan penggunaan bahasa disesuaikan dengan kebutuhan praktis dalam komunikasi. Walaupun PK ini sudah lebih inovatif dibandingkan dengan pendekatan lain (pendekatan struktural, pendekatan linguistis) yang juga pernah dianut dalam dunia pembelajaran bahasa di Indonesia, akan tetapi belumlah bersesuaian dengan situasi dan kondisi PBJ di Jawa Timur. Mengapa demikian?
PBJ tidaklah dimaksudkan sekadar agar siswa dapat menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi. Kebutuhan siswa untuk bekomunikasi, sekali lagi, telah terpenuhi oleh bahasa Indonesia yang dikuasainya sebagai bahasa ibu. Yang justru wigati untuk diperangi lewat PBJ adalah sikap ketertutupan siswa terhadap bahasa Jawa, serta sikap peremehan terhadap bahasa Jawa. Sikap ketertutupan itu tampak pada ketakacuhan dan ketakresponsifan dengan situasi kedwibahasaan di sekitarnya. Adalah sebuah ironi, jika realitas penuturan bahasa Jawa berada di sekitar siswa tetapi mereka tidak mengakuisisinya. Hal itu berkait dengan sikap yang memandang rendah bahasa Jawa, yaitu sebagai bahasa yang tidak berprestise dibanding bahasa asing. Oleh karena itu, belajar bahasa Jawa dan mampu berbahasa Jawa dipandangnya sebagai yang tidak memberikan nilai apapun juga. Dalam konteks inilah PBJ perlu ditata ulang agar mampu memelekkan mata, teristimewa mata hati, dan membuka telinga bahwa belajar bahasa Jawa dan fasih berbahasa Jawa memiliki nilai-nilai yang dapat menjadikan dirinya sebagai manusia purna. Yang demikian itu tidak terliput dalam PK yang berbasis pada pandangan instrumentalisme bahasa.
Hal itu berbeda dengan pendekatan humanistik (disingkat PH) yang mendasarkan pada pandangan determenisme bahasa. Dalam PH bahasa dipandang sebagai karakteristik manusia, bahasa menjadi ciri hakiki manusia. Dengan rumusan negasi dapat dinyatakan bahwa tanpa bahasa, manusia bukanlah manusia. Dalam arti luas, bahasa mencerminkan nilai-nilai kemanusiawian (misal: sebagai homo ludens, homo sapien, dan homo faber). Lewat bahasa terejawantahkan kesejatian manusia sebagai makhluk berpikir, makhluk berkarya. Oleh karena itu, penguasaan bahasa bagi manusia mutlak, bukan sekadar tuntutan berkomunikasi melainkan tuntutan bereksistensi sebagai manusia. Lewat kefasihannya dalam berbahasa Jawa akan tercermin cara-cara berpikir manusia Jawa, cara bertindak manusia Jawa. Secara lebih spesifik, dalam konteks bahasa Jawa dapat dikatakan eksistensi manusia Jawa ditujukkan oleh kemampuannya berbahasa Jawa. Pepatah mengatakan bahasa menunjukkan bangsa.
Dalam PH bahasa bukan objek belajar yang eksklusif di luar pembelajar, melainkan inklusif dalam subjek pembelajar. Setiap manusia, demikian teori psikolinguistik mengatakan, dibekali dengan peranti pemerolehan bahasa (language acquisition device). Oleh karena itu, pada hakikatnya manusia dapat memperoleh bahasa apapun juga bergantung pajanan bahasa yang berada di sekitarnya. Tidak pernah ada bukti pemerolehan bahasa berkait dengan pembawaan lahiriah, seperti berdasar warna kulit (hitam, putih), suku atau etnis (Jawa, Madura, Asia, Eropa). Yang sudah terbukti manusia berbahasa 'kera' karena sejak lahir ia hidup dalam pajanan teriakan kera, si George berbahasa Jawa karena dibesarkan dalam pajanan bahasa Jawa, atau Sugeng berbahasa Inggris karena dididik dalam pajanan bahasa Inggris. Oleh karena itu, jika ikatan primodialisme dapat dilepaskan, bukanlah sebuah problem seorang Madura belajar bahasa Jawa, atau sebaliknya. Fakta semacam ini yang mendasari munculnya ancangan lintas-budaya (cross-cultural) yang mengiringi PH.
Sebagaimana manusia itu pada hakikatnya anekamatra (multidimentional), demikian juga bahasa. Menurut van Ek, bahasa itu bermatra moral, emosional, intelektual, sosial, instrumental/manajerial, dan faktual. Matra berbeda dengan guna, sehingga menafsirkan matra atau dimensi moral sebagai guna atau fungsi moral bahasa tidaklah pada tempatnya. Matra atau dimensi itu adalah sisi yang mengeksistensikan substansi. Bahasa bermatra moral dengan demikian berarti substansi bahasa dieksistensikan oleh sisi moral. Bahasa bermatra emosional berarti substansi bahasa dieksistensikan oleh sisi emosional. Begitulah juga dengan matra yang lain. Perbedaan nilai 'kekasaran dan kehalusan' suatu bahasa sering ditarik lurus dengan 'kekasaran dan kehalusan' penuturnya. Orang Jawa itu 'halus', katanya. Perkataan itu tidak dapat lepas dari bahasa Jawa yang dikenal 'halus'.
Jika manusia itu memiliki cita, rasa, dan karsa, maka demikianpun bahasa. Stevick (1990) mengatakan bahwa bahasa itu mengungkapkan feelings seperti emosi personal, apresiasi estetis, mengungkapkan relasi sosial seperti kebertemanan, kerja sama, mengungkapkan responsibilitas seperti kekritisan, swakoreksi, mengungkapkan intektualitas seperti pengetahuan, penalaran, pemahaman, dan mengungkapkan aktualitas diri seperti keunikan dan kebebasan. Stevik tidak memaksudkan bahasa sebagai pengungkap rasa, relasi, responsibilitas, intelektualitas, dan aktualitas diri tetapi ia memaksudkan bahasa itu mengungkapkan itu semua. Jika bahasa sebagai pengungkap berarti bahasa terpisah dengan yang diungkapkan, dan bahasa hanyalah sebagai instrumen. Akan tetapi jika bahasa mengungkapkan berarti yang diungkapkan itu manunggal dan bahkan sekaligus sebagai kesejatian bahasa itu. Sekali lagi, jika cita, rasa, dan karsa itu tidak dapat dipisahkan dari manusia dan merupakan kesejatian manusia, maka demikianpun bahasa itu tidak dapat dipisahkan dari cita, rasa, dan karsa yang merupakan kesejatian bahasa. Jika cita, rasa, dan karsa menjadi determinan manusia, maka bahasa juga menjadi determinan manusia.

C.    Ciri PH Sebagai Pendekatan Alternatif
Paham determinisme yang mendasari PH, menurut Stevick (1990) ditandai oleh penekanan dan penghargaan pada (1)keunikan, (2)kebebasan, dan (3)kemar-tabataan siswa sebagai manusia. Dalam tinjauannya atas ketujuh pendekatan pembelajaran bahasa yang pernah ada (tatabahasa terjemahan, audiolingual, metode langsung, TPR atau respon fisik total, natural, sugestopedia, dan komunikatif), Stevick mempersoalkan pendekatan-pendekatan tersebut dalam tiga pertanyaan, apakah ciri keunikan manusia dalam diri pembelajar ditempatkan dalam pendekatan itu, apa bentuk kekebasan yang diupayakan oleh pendekatan itu, serta bagaimana pendekatan itu berkontribusi pada kemartabatan manusia. Sesuai dengan karakteristik setiap pendekatan, kandungan ketiga ciri yang semestinya ditekankan dalam pembelajaran bahasa oleh setiap pendekatan tidaklah sama.
Manusia itu unik, tidak ada satu manusiapun yang sama. Demikianlah juga siswa sebagai pembelajar bahasa, tidak satupun di antara mereka sama. Walaupun mereka sama-sama sebagai seorang suku Jawa, berbahasa ibu bahasa Jawa, misalnya, namun mereka pastilah memiliki keunikan dalam hal tertentu. Yang satu berasal dari keluarga yang berbahasa Jawa dalam dominasi ragam ngoko, tetapi mungkin yang lain berasal dari keluarga berbahasa Jawa yang lebih didominasi ragam krama, Yang satu pajanan bahasanya lebih banyak imperatif, yang lain deklaratif. Yang satu lebih banyak mengakuisisi pada aspek reseptif, yang lain lebih pada aspek ekspresif. Keunikan itu tidak boleh dikuburkan dengan alasan klasikal.
Hal itu berarti diperlukan pengembangan model pembelajaran yang toleran terhadap keunikan individual siswa. Model itu bertenggang rasa pada pengalaman berbahasa siswa, serta bertanggung asa pada pengharapan berbahasa siswa. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan, pada satu peristiwa pembelajaran, terjadi beberapa kelompok minat yang diikat oleh kompetensi dasar yang sama. Setidak-tidaknya model tersebut berpumpunan dan berpandangan pada perspektif siswa. Perwujudannya, misalnya, dilakukan dengan melibatkan siswa dalam merancang isi dan proses pembelajaran. Demikianpun dalam evaluasi hasil belajar, capaian diukur dari sudut pandang siswa dan bukan dari sudut pandang guru.
Terkait dengan keunikan, ciri kedua yang ditekankan oleh PH adalah kebebasan. Tidak seorangpun siswa dalam proses pembelajaran merasa ditekan dan tertekan oleh yang lain. Artinya, mereka belajar dalam kondisi psikologis bebas, leluasa tanpa tekanan. Penubian seperti terjadi pada pendekatan langsung ataupun audiolingual merupakan manifestasi tekanan pada kebebasan. Meminta siswa melakukan perbuatan sesuai perintah-perintah seperti pada sugestopedia pasti juga mengurangi kadar kebebasan ini. Oleh karena itu, PH berusaha menawarkan berbagai alternatif kegiatan pembelajaran yang dapat dipilih siswa sesuai kemauannya dan minatnya.
Pengembangan model pembelajaran yang demikian itu, misalnya, dapat dilakukan dengan menyediakan sejumlah alternatif wacana pada pembelajaran aspek membaca, sejumlah alternatif bentuk tulisan pada pembelajaran menulis, sejumlah alternatif tema dan konteks pada pembelajaran aspek wicara, dan sebagainya. Dalam hal ini kreativitas guru serta kemampuan manajerial guru memegang peranan penting. PH memang memerlukan guru yang kreatif untuk mendadal kompetensi dalam aneka aktivitas berbahasa yang setara, serta guru yang mumpuni dalam mengelola aneka aktivitas tersebut dalam satu kesatuan koordinatif kompetensi tertentu.
Pada giliriannya, model pembelajaran itu dapat mengantar siswa dalam mencapai martabatnya sebagai manusia. Pastilah manusia itu bukan mesin! Pembelajaran bahasa dengan pendekatan saintifik-struktural dinilai gagal karena tidak mengantar siswa mencapai martabatnya dengan bahasa yang dipelajarinya. Siswa belajar kaidah-kaidah bahasa, tetapi gagal dalam mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk individual maupun sosial dengan bahasa yang dipelajarinya. Adalah ironi, jika oleh sebab capaian dari pembelajaran bahasa membuat siswa terasing dari komunitas bahasa yang dipelajarinya. Model-model pembelajaran yang pernah ada tidak bisa menyangkal diri dari realitas tersebut, yakni siswa takut salah (karena tidak sesuai kaidah) dalam berbahasa, siswa kurang adaptif (karena pola-pola bahasa tertentu) terhadap situasi berbahasa, sehingga siswa terasing atau mengasingkan diri dari komunitas bahasa yang bersangkutan. Bertahun-tahun siswa belajar bahasa Inggris, tetapi jika ada situasi yang menawarkan keterlibatannya di dalam situasi tersebut, justru dihindari. Jika PBJ juga berakibat seperti itu, maka hal itu mengindikasikan ketak-humanistikan pendekatan pembelajaran yang digunakannya.
Kondisi-kondisi macam apa sajakah yang menjauhkan pembelajaran bahasa dari karakter kehumanistikan? Pertama, guru berkehendak mencapai kemajuan yang sama pada semua siswanya. Hal ini kadang termanifestasi pada pembandingan siswa tertentu yang cakap dengan siswa lain yang lamban kemajuan belajarnya. Ungkapan guru yang sering terlontar, Kowe iku ora kaya Sugeng atau Contonen Sugeng ika, le! Lebih parah lagi jika guru berkehendak siswanya menjadi sama dengan dirinya, seperti yang telah diuraikan di muka. Kesadaran heterogenitas yang terpendam oleh homogenitas dan uniformalitas dapat berakibat pada situasi yang menjauhkan pembelajaran bahasa dari ciri PH. Dalam konteks itu, pengelompokan siswa dalam kelas didasarkan pada pemisahan cepat dan lambat belajar bertentangan dengan kehumanistikan ini.
Kedua, dengan alasan demi kedisiplinan, guru terlalu rigid (keras, kaku) mengatur siswanya. Tugas-tugas diberikan dengan terlalu banyak aturan yang tidak sepenuhnya bergayut dengan substansinya. Ketentuan teknis administratif dikedepankan, hingga menutupi prinsip pragmatis ekspresi berbahasanya. Untuk mendukung hal itu, kadang dibumbui dengan ancaman. Yen telat ngumpulke tugas bijine disuda, utawa ora nggawe tugas bijimu lima. Pembelajaran menjadi sumber stres atau tekanan mental yang dapat menghambat belajar. Semua itu mengakibatkan kesenjangan yang makin lebar antara yang cakap dengan yang tidak cakap, yang rajin dengan yang malas. Di samping itu, akibat terparah ialah siswa menjadi antipati pada PBJ, dan jika itu dibiarkan terus-menerus, maka PBJ sedang berada dalam kontribusi proses dehumanisasi pada siswa.
Oleh karena itu, ketiga, PBJ yang tidak menoleransi kesalahan siswa bertentangan juga dengan kehumanistikan. Kesalahan, kekurangberhasilan siswa dalam pencapaian kompetensi tertentu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembelajaran. Salah adalah bagian dari proses berubah, kegagalan adalah tahapan menuju keberhasilan. Kebelumsempurnaan menjadi ciri manusia muda. Drijarkara (1962) pengembang pendidikan humaniora dengan pendekatan dialogalnya menyatakan bahwa, tugas pendidikan mengantar manusia muda (baca: berpotensi) menuju ke manusia purna. Pendidikan itu pada hakikatnya proses memanusiakan manusia. Toleransi pada kesalahan siswa diwujudkan dengan membiasakan siswa untuk menghargai kesalahan itu dengan tidak menghapusnya dari catatan, tetapi dengan menandainya dengan coretan atau silangan, kemudian menuliskan pembetulannya di samping kanan/kiri, atau atas/bawah kesalahan tersebut.

D.    Guru Ideal dalam PH
PH yang dikembangkan oleh Earl W. Stevick (1990), sesungguhnya mereferensi pada Pembelajaran Bahasa Bersama (Community Language Learning) yang dikembangkan oleh Charles A. Curran (1972), Cara Diam (Silent Way) dari Caleb Gattegno (1972), dan Sugestopedia dari G. Lozanov (1979). Seperti pada model konseling, Curran mengintroduksi peran guru -yang oleh Stevick disebut sebagai konsep yang elusif (susah dipahami)-- yakni mengambil rupa (incarnation) atau penitisan, dan mengentaskan (redemption) atau penyelamatan, yang merupakan ungkapan teologis kenabian.
Guru yang berposisi sebagai yang tahu, fasih, terampil berbahasa atau sebut saja sebagai pribadi matang dan dewasa dalam bahasa diharapkan dapat mengambil rupa atau menitis sebagai siswa yang sedang bertumbuh, sebagaimana ia dulu berusia seperti para siswa. Oleh karena itu inkarnasi atau penitisan merupakan proses penyelarasan atau penyesuaian diri oleh guru dengan siswanya. Guru berperan (seolah-olah) sebagai siswa. Artinya, ia tidak tampil sebagai yang serba tahu (meskipun memang seharusnya lebih tahu). Di sinilah inkarnasi itu juga sebagai penyangkalan (forgoing) kekuasaan. Mengapa PH menuntut peran guru demikian?
Pamer kepintaran di hadapan siswa identik dengan penciptaan jarak atau kesenjangan antara guru dan siswa. Bahkan lambat laun tidak hanya berjarak, tetapi juga berbatas alias berpagar. Jika sudah demikian, relasi guru dan siswa tidak lagi dapat akrab, sehingga ia akan berkesulitan dalam negosiasi kegiatan pembelajaran. Puncak itu semua ialah 'penolakan' siswa pada guru tersebut. Lebih-lebih jika pameran kekuasaan itu ditunjukkan dengan kecenderungan mencari-cari kesalahan siswa dalam pembelajaran bahasa. Guru hadir di tengah siswa untuk membangkitkan semangat (ing madya mangun karsa), namun kekuasaan atau kemampuannya disembunyikan (tut wuri handayani), dan memang karena kemampuannya itu, ketika ia harus di depan mampu juga memberikan contoh kepada siswanya (ing ngarsa sung tuladha).
Seperti telah disinggung di muka, tugas guru adalah mendampingi yang lambat belajar. Inilah yang dalam bahasa Curran disebut sebagai redemption atau penyelamatan. Lebih peduli pada siswa yang lemah tanpa mengabaikan yang kuat merupakan perwujudan peran guru sebagai redemptor karena yang telah mencapai atau memiliki kompetensi berbahasa sebagaimana seharusnya dikuasai oleh siswa berarti telah mencapai dan memiliki kemartabatannya sebagai manusia. Oleh karena itu, memberikan perhatian yang lebih pada yang lemah merupakan upaya mengantar yang bersangkutan mencapai kemartabatannya sebagai manusia. Remidial dalam bentuk pendalaman bagi yang lemah, dan pengayaan bagi yang kuat merupakan wujud dari peran redemptor ini.

E.     PH dan Pengembangan Budi Pekerti Luhur
PH menghargai keunikan, kebebasan, dan kemartabataan siswa sebagai manusia. Perwujudan penghargaan keunikan mengadaikan manusia dapat memahami diri sendiri dan memahami orang lain, serta menghargai perbedaan antara dirinya dan orang lain, kemudian menempatkan diri secara tepat di hadapan orang lain. Manusia dapat mengetahui sapa sira sapa ingsun, dan membangun keselarasan dalam keperbedaan antara ingsun dan sira. Karakteristik bahasa Jawa yang di dalamnya mengenal salah satunya unggah-ungguh basa serta undha-usuk basa potensial membelajarkan siswa pada pemahaman dan penghargaan atas perbedaan, dan penempatan diri secara selaras dalam keperbedaan. Optimalisasi budi pekerti luhur semacam itu terfasiltasi bukan oleh pendekatan pembelajaran bahasa yang menempatkan bahasa di luar dirinya melainkan oleh pendekatan yang menembpatkan bahasa sebagai jati dirinya.
Penerimaan dan penghargaan atas keunikan akan bermuara pada kebebasan (mardika). Ketika yang satu mengenal yang lain, dan menghargai perbedaannya dengan yang lain, serta membangun keselarasan dengan yang lain, maka tidak satupun di antara yang lain terganggu (baca: tidak bebas) oleh yang lain. Pembelajaran yang dapat mengarahkan pada sikap semacam itu merupakan perwujudan dari personalisasi pendidikan dan bukan individualisasi pendidikan. Kepersonalan siswa ditempatkan dan ditumbuhkembangkan dalam kekomunalan atau keguyubannya dengan siswa lain. Pelatihan penggunaan bahasa Jawa di tengah kondisi sosiolinguistis seperti diuraikan di muka mengasah ketajaman siswa dalam mengekang kebebasan diri dan membiarkan kebebasan orang lain. Dengan demikian, sekali lagi, PH dalam PBJ dapat berkontribusi dalam pengembangan budi pekerti luhur: pengekangan diri dan pembiaran orang lain.
Jika demikian, maka setiap pembelajar akan tumbuh dan berkembang dalam kemartabatannya. Salah satu martabat manusia adalah sebagai makhluk personal dan sosial. Dalam PH, bahasa Jawa tidak dipelajari sebagai kaidah tetapi sebagai aktualisai diri dalam segala matranya (moral, emosional, intelektual, sosial, instrumental/manajerial, dan faktual). Hal itu berarti belajar bahasa Jawa itu inklusif belajar tentang nilai-nilai moral, nilai emosional, intelektual, sosial, manajerial, dan faktual. Karakteristik bahasa Jawa berpotensi menyuburkan nilai-nilai itu bukan saja sebagai pengetahuan melainkan sebagai keterampilan dan sikap. Untuk menyapa mitra bicara yang secara sosial hirarkial lebih tinggi tersedia pilihan kata panjenengan, jengandika, handika, paduka. Pelatihan pemilihan kata yang tepat sesuai mitra bicara tidak hanya melatih aspek pengetahuan, akan tetapi lebih-lebih melatih aspek sikap-sikap luhur.
Penggunaan PH dalam PBJ memerlukan model pembelajaran yang bergayut. Sesuai dengan prosedur pembelajaran yang lazim terbagi atas kegiatan awal, ini dan akhir, beberapa model yang dapat digunakan adalah perencanaan, empatik untuk membuka pelajaran; eksperimental, rekonstruktif, nosional untuk kegiatan inti; dan sosioafektif untuk menutup pelajaran. Terbuka kemungkinan juga pengembangan model-model pembelajaran oleh guru di lapangan.

F.     Wasana
Setiap guru dan lebih-lebih guru bahasa Jawa harus tetap menyadari akan tugas pokoknya, yakni mendidik dan bukan mengajar. Curran secara serta merta menegaskan tugas guru dalam PH itu sebagai edukator humanistik (dan bukan pengajar humanistik). Bahasa Jawa yang dikenal mengandung nilai-nilai luhur amatlah tepat menjadi alternatif pendidikan karakter dengan pengembangan budi pekerti luhur pada siswa, sebagaimana didengung-dengungkan akhir-akhir ini. Dengan dukungan penggunaan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan PBJ di sekolah-sekolah, dan ditangani oleh guru yang mumpuni (profesional) yang dapat mewujudkan peran sebagai penitis dan pengentas, niscaya PBJ akan dapat berkontribusi pada pengembangan karakter siswa.

G.    Sumber
-          Anthony, E.M. 1963. “Approach, method and technique” English Langaage Teaching. New York: McGraw-Hill.

-          Bickerton, D. 1995. Language and Human Behavior. Seattle: University of  Washington Press.

-          Breen, M.P. dan Candlin, C.N. 1980. The Communicative Curriculum in Language Teaching. London: Longman.

-          Curran, C.A. 1976. Counseling-Learning in Second Languages. Apple River III: Apple Rivers Press.

-          Drijarkara, N. 1962. Percikan Filsafat. Jakarta: PT Pembangunan Jaya.

-          Dubin, F. dan Olshtain, E. 1992. Course Design: Developing Programs and Materials for Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press.

-          Gategno, C. 1972. Teaching Foreign Languages in Schools: The Silent Way. New York: Educational Solution Inc.

-          Halliday, M.A.K. dan Hassan, R. 1985. Languge, Context, and Text: Aspect of Language in a Social-Semiotic Perspective. Tou, A.B. dan Ramlan (a.b.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

-          Hath, E. 1992. Dircourse and Language Education. Cambridge: Cambridge University Press Littlewood, W. 1981. Communicative Language Teaching: An Introduction. Cambridge: Cambridge University Press.

-          Lozanov, G. 1979. Suggestology and Outlines of Suggestopedy. New York: Gordon and Breach. Mohan, B, 1992. “Kerangka Terpadu untuk Pembelajaran bahasa dan Isi” dalam Bahasa dalam Pembelajaran, Tickoo (ed.). Jakarta: Ribea Indah Prakasa

-          Moi, Ng. S. 1992. “Strategi Penerapan dalam Pendekatan Ingratif untuk Pengajaran Membaca dan Bahasa” dalam Bahasa dalam Pembelajaran, Tickoo (ed.). Jakarta: Ribea Indah Prakasa.

-          Norton, D.E. dan Norton, S. 1993. Language Art Activities for Children. New York: Macmillan College Publishing Company.

-          Omaggio, A.C. 1986. Teaching Language in Context: Profiency Oriented Instruction. Boston: Heinle & Heinle Publisher.

-          Purwa, B.K. 1997. Pokok-pokok Pengajaran Bahasa dan Kurikulum 1994: Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

-          Purwa, B.K. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius.

-          Richards, J. 1985. The Context of language Teaching. New York dan Cambridge: Cambridge University Press.

-          Richards, J. dan Rodgers, S.Th. 1986. Approach and Method in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.

-          Savignon, S.J. 1983. Communicative Competence: Theory and Classroom Practice. Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company.

-          Stern, H,H. 1975. “What can we learn from the good language learner?” Canadian Modern Language Review. Canada: 4 Oakmount Road.

-          Stern, H,H. 1983. Fundamental Concept of Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.

-          Stevick, E.W. 1990. Humanism in Language Teaching: A Critical
   Perspektive. Oxford: Oxford University Press.

-          Tarigan, H.G. 1993. Strategi Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa. Bandung: Penerbit Angkasa.

-          Terrel, T.D. 1977. “A Natural Approach to Second Language Learning and Acquisition” Modern Language Journal. Wisconsin: University of  Wisconsin Press.

-          Tickoo, M. (ed.) 1992. Bahasa dalam Pembelajaran. Jakarta: Ribea Indah Prakasa.

-          Tomlinson, B. 1998. Material Development in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.

-          van Ek, J.A. 1980. The Theshold Level for Modern Language Learning in Schools. London: Longman.

-          van Els, T. dkk.1984. Applied Linguistics and Learning and Teaching of Foreign Language. Maryland: Edward Arnold.

-          Yohanes, B. 1993. “Alternatif Penyiasatan Pendekatan Komunikatif dalam Pengajaran Bahasa Indonesia” dalam Prasasti (2/Th III). Surabaya: FPBS IKIP Surabaya.

-          Yohanes, B. 1995. “Komunikatif, Integratif, dan Tematis dalam GBPP Bahasa Indonesia 1994: Hakikat dan Siasat” dalam Wahana (17/Th III). Surabaya: IKIP PGRI Surabaya.

0 Komentar:

Posting Komentar

 
!!!!Ingat pesan BUNG KARNO: JANGAN SEKALI-SEKALI MELUPAKAN SEJARAH!!!!