A. Purwaka
Dari hasil
penelisikan Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Jawa (selanjutnya akan disebut KBJ)
untuk Jenjang Pendidikan Dasar (SD dan SMP) sebagaimana tertuang dalam
Keputusan Gubernur Jawa Timur nomor 1888/188/KPTS/013/2005, tersurat bahwa KBJ
mengimperasi para pelaksananya untuk menggunakan pendekatan pembelajaran bahasa
yang didasarkan pada pandangan instrumentalisme, yaitu pandangan yang
menempatkan bahasa sebagai alat komunikasi. Padahal jika ditilik dari kebutuhan
siswa, tampaknya hal itu jauh dari angan-angan siswa karena mereka sudah dapat
berkomunikasi dengan bahasa lain, yaitu bahasa Indonesia. Bahkan, telah
menghinggapi angan mereka juga bahwa berkomunikasi dengan bahasa Inggris atau
bahasa asing lainnya lebih prestisius. Oleh karena itu, timbul pertanyaan,
masih relevankah mengajarkan bahasa Jawa kepada siswa SD dan SMP di tengah
hiruk-pikuk arus globalisasi jika pendekatannya berkiblat ke instrumentalisme
seperti itu?
Di sisi lain, manakala dicermati latar belakang penyelenggaraan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah (selanjutnya disingkat PBJ) terbesit juga niatan penyelenggaraan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah untuk membentuk kepribadian yang njawani pada diri siswa, agar identitas lokal tidak tercerabut oleh arus global. Bahkan, niatan itu kini memperoleh tiupan angin segar dari ikon pentingnya pendidikan karakter bangsa, pendidikan kepribadian, pendidikan budi pekerti luhur dan sejenisnya. Oleh karena itu, timbul pertanyaan juga, tidak mungkinkah meredifinisi urgensi PBJ yang lebih relevan dengan konteks perkembangan masyarakat sekarang.
Di sisi lain, manakala dicermati latar belakang penyelenggaraan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah (selanjutnya disingkat PBJ) terbesit juga niatan penyelenggaraan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah untuk membentuk kepribadian yang njawani pada diri siswa, agar identitas lokal tidak tercerabut oleh arus global. Bahkan, niatan itu kini memperoleh tiupan angin segar dari ikon pentingnya pendidikan karakter bangsa, pendidikan kepribadian, pendidikan budi pekerti luhur dan sejenisnya. Oleh karena itu, timbul pertanyaan juga, tidak mungkinkah meredifinisi urgensi PBJ yang lebih relevan dengan konteks perkembangan masyarakat sekarang.
Jika
redifinisi urgensi itu dapat diterima, maka diperlukan pemilihan dan penataan
kembali pendekatan yang sesuai, seperti misalnya pendekatan humanistik,
pendekatan etnografik, kros-kultural dan sejenisnya. Setidak-tidaknya kiblat
pandangan penyelenggaraan PBJ perlu menoleh pada determenisme yang menempatkan
bahasa sebagai ciri hakiki manusia sebagai hommo simbolicum. Pengejawantahan
kesejatian manusia sebagai makhluk lambang, makhluk 'pralambang', demikian
menurut Cassirer (1998), memuncak pada bahasa sebagai karakteristik manusia
yang membedakan dengan makhluk-makhluk lain. Dalam konteks itulah, penerapan
pendekatan humanistik yang berlandaskan paham deteremenisme patut ditatap
sebagai cakrawala ke depan sembari berjalan terseok di landasan
instrumentalisme.
B. Instrumentalisme vs Determinisme
Sesuai
dengan prinsip-prinsip dalam linguistik edukasional, pembelajaran bahasa seyogyanya
mengitegrasikan konsep-konsep yang berkaitan dengan hakikat bahasa,
karakteristik pembelajar, kualifikasi pengajar, dan latar sosial dan kultural
yang terkait di dalamnya. Dalam perspektif PBJ, harus diakui bahwa bahasa Jawa
bukanlah sebagai bahasa ibu bagi sebagian besar pembelajarnya, walaupun juga
bukan sebagai bahasa asing bagi mereka karena kesehariannya mereka berhadapan
dengan situasi penggunaan bahasa Jawa juga. Pemosisian yang tepat akan hakikat
bahasa Jawa bagi pembelajarnya menjadi titik pijak (starting point) yang
menentukan proses berikutnya yang berkaitan dengan PBJ. Demikianpun, ketika
tersembul pengakuan bahwa bahasa Jawa menyimpan nilai-nilai luhur di dalamnya
seperti unggah-ungguh, kesantunan, kesusilaan, dan sebagainya, hal itu menunjukkan
bahwa penyelenggaraan PBJ tidak sekadar mengajarkan keterampilan berbahasa
melainkan juga mengajarkan nilai-nilai luhur tersebut.
Siapakah
mereka yang belajar bahasa Jawa itu? Dari segi usia, mereka yang berada di
jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP), secara psikolinguistis adalah
insan-insan yang berada pada tahapan perkembangan bahasa sebelum mencapai
periode kritis dalam akuisisi bahasa. Hal itu berarti tingkat pintu
kesiap-sediaan memperoleh bahasa baru di luar bahasa yang telah dikuasainya
masih terbuka lebar. Tidak sedikit fakta yang telah membuktikan kebenaran teori
tersebut jika diingat bahwa anak-anak diakui lebih cepat menguasai bahasa baru
yang diperolehnya daripada orang tuanya. Kasus kepindahan keluarga dari tempat
yang satu ke tempat yang lain yang berbeda bahasa utamanya (bandingkan:
lingua-franca), sering diiringi oleh kemampuan adaptasi bahasa pada
anak-anaknya yang lebih baik dan oleh karena itu pemerolehan bahasa baru di
tempat barunya juga lebih maju dibandingkan kedua orang tuanya. Kondisi
psikolinguistis yang demikian tersebut, sesungguhnya merupakan modal dasar yang
perlu dioptimalkan bagi penyelenggaraan PBJ.
Secara
sosiolinguistis, seperti yang telah disinggung di muka, para pembelajar bahasa
Jawa di Jawa Timur khususnya merupakan bagian dari masyarakat bilingual atau
masyarakat dwibahasa. Tidak menutup kemungkinan dari antara mereka justru telah
menjadi dwibahasawan aktif berbagai bahasa (bahasa Indonesia, bahasa Madura,
bahasa Inggris, dan bahasa Jawa). Akan tetapi ada juga yang masih sebagai
dwibahasawan pasif dalam bahasa Jawa, yakni ia berada sebagai bagian masyarakat
dwibahasawan yang dapat meresepsi tuturan bahasa Jawa, tetapi belum -untuk
tidak mengatakan tidak-- memiliki kecakapan produktif bahasa Jawa. Realitas
kedwibahasaan tersebut merupakan atmosfir kondusif bagi penyelenggaraan PBJ.
Persoalannya sekarang terletak pada pemanfaatannya dalam penentuan kebijakan
bahasa (language policy), khususnya di bidang pembelajaran. Dari perspektif
ini, kebijakan hari bahasa Jawa di sekolah-sekolah memperoleh
pertanggungjawabannya, sehingga seharusnya perlu didukung oleh semua pihak.
Ihwal
kualifikasi pengajar, pastilah tidak perlu diragukan! Walaupun masih ada
segelintir pengajar bahasa Jawa yang secara formal tidak berlatar belakang
pendidikan akademis yang bersesuaian, dalam konteks sekarang dan yang akan
datang dapat diharapkan lambat laun akan dicapai kualifikasi pengajar bahasa
Jawa yang mumpuni. Pengajar bahasa Jawa pastilah mereka yang telah terukur
dalam kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan
kompetensi sosial. Hal itu terbukti tidak sedikit di antara pengajar bahasa
Jawa yang kini telah lulus sertifikasi. Oleh karena itu dari sisi kualifikasi
pengajar, penyelenggaraan PBJ dapat dikatakan tidak memiliki problema berarti.
Apalagi yang bisa diragukan dari para pengajar bahasa Jawa saat ini? Masih
adakah pengajar bahasa Jawa yang tidak fasih berbahasa Jawa, atau tidak luwes
berdendang tembang Jawa? Dalam kualifikasi semacam itu berarti pengajar bahasa
Jawa dapat sekaligus berperan sebagai penutur asli (native speaker) yang memang
diperlukan dalam pembelajaran bahasa.
Latar sosial
dan kultural PBJ di wilayah provinsi Jawa Timur amatlah jelas. Masyarakatnya
sebagian besar terdiri atas suku Jawa, hanya untuk beberapa tempat lebih banyak
suku Madura, di samping juga berbaur dengan suku-suku lain. Meskipun ada juga
budaya selain Jawa, tetapi tidaklah berlebihan jika dikatakan kebudayaan Jawa
dengan segala manifestasinya lebih mewarnai provinsi ini. Pergelaran wayang
kulit yang notabene tersajikan dengan bahasa Jawa tidak terlalu sulit dijumpai.
Singkat kata dari segi latar sosial dan kultural, PBJ di provinsi Jawa Timur
ibarat tuan rumah di negeri sendiri, dan bukan tamu di negeri asing, dan
seharusnya juga tidak sebagai tamu di negeri sendiri.
Atas dasar
itu semua, tampaknya mengancangi PBJ dengan asumsi aksiomatis seperti dianut
pendekatan komunikatif (disingkat PK) perlu diulang-renungkan. Sekadar bukti
digunakannya PK dalam PBJ berdasarkan KBJ dapat disebut sebagai berikut. Di
bagian pengertian dirumuskan bahasa merupakan sarana untuk saling
berkomunikasi, saling berbagi pengalaman,… dan di bagian rambu-rambu terumus
pendekatan pengajaran bahasa Jawa lebih ditekankan pada penggunaan bahasa Jawa
yang baik dan benar terlebih unggah-ungguh basa untuk berkomunikasi. PK
berasumsi bahwa bahasa adalah alat komunikasi, oleh karena itu pembelajaran
bahasa tidak lain dan tidak bukan melatih siswa agar dapat menggunakan bahasa
tersebut dalam komunikasi. Menyadari bahwa komunikasi itu berlangsung dalam
aneka kondisi dan situasi, maka pelatihan penggunaan bahasa juga dirancang
dalam aneka situasi komunikasi. Pelatihan penggunaan bahasa disesuaikan dengan
kebutuhan praktis dalam komunikasi. Walaupun PK ini sudah lebih inovatif
dibandingkan dengan pendekatan lain (pendekatan struktural, pendekatan
linguistis) yang juga pernah dianut dalam dunia pembelajaran bahasa di
Indonesia, akan tetapi belumlah bersesuaian dengan situasi dan kondisi PBJ di
Jawa Timur. Mengapa demikian?
PBJ tidaklah
dimaksudkan sekadar agar siswa dapat menggunakan bahasa Jawa sebagai alat
komunikasi. Kebutuhan siswa untuk bekomunikasi, sekali lagi, telah terpenuhi
oleh bahasa Indonesia yang dikuasainya sebagai bahasa ibu. Yang justru wigati
untuk diperangi lewat PBJ adalah sikap ketertutupan siswa terhadap bahasa Jawa,
serta sikap peremehan terhadap bahasa Jawa. Sikap ketertutupan itu tampak pada
ketakacuhan dan ketakresponsifan dengan situasi kedwibahasaan di sekitarnya.
Adalah sebuah ironi, jika realitas penuturan bahasa Jawa berada di sekitar
siswa tetapi mereka tidak mengakuisisinya. Hal itu berkait dengan sikap yang
memandang rendah bahasa Jawa, yaitu sebagai bahasa yang tidak berprestise
dibanding bahasa asing. Oleh karena itu, belajar bahasa Jawa dan mampu
berbahasa Jawa dipandangnya sebagai yang tidak memberikan nilai apapun juga.
Dalam konteks inilah PBJ perlu ditata ulang agar mampu memelekkan mata,
teristimewa mata hati, dan membuka telinga bahwa belajar bahasa Jawa dan fasih
berbahasa Jawa memiliki nilai-nilai yang dapat menjadikan dirinya sebagai
manusia purna. Yang demikian itu tidak terliput dalam PK yang berbasis pada
pandangan instrumentalisme bahasa.
Hal itu
berbeda dengan pendekatan humanistik (disingkat PH) yang mendasarkan pada
pandangan determenisme bahasa. Dalam PH bahasa dipandang sebagai karakteristik
manusia, bahasa menjadi ciri hakiki manusia. Dengan rumusan negasi dapat
dinyatakan bahwa tanpa bahasa, manusia bukanlah manusia. Dalam arti luas,
bahasa mencerminkan nilai-nilai kemanusiawian (misal: sebagai homo ludens, homo
sapien, dan homo faber). Lewat bahasa terejawantahkan kesejatian manusia
sebagai makhluk berpikir, makhluk berkarya. Oleh karena itu, penguasaan bahasa
bagi manusia mutlak, bukan sekadar tuntutan berkomunikasi melainkan tuntutan
bereksistensi sebagai manusia. Lewat kefasihannya dalam berbahasa Jawa akan
tercermin cara-cara berpikir manusia Jawa, cara bertindak manusia Jawa. Secara
lebih spesifik, dalam konteks bahasa Jawa dapat dikatakan eksistensi manusia
Jawa ditujukkan oleh kemampuannya berbahasa Jawa. Pepatah mengatakan bahasa
menunjukkan bangsa.
Dalam PH
bahasa bukan objek belajar yang eksklusif di luar pembelajar, melainkan
inklusif dalam subjek pembelajar. Setiap manusia, demikian teori
psikolinguistik mengatakan, dibekali dengan peranti pemerolehan bahasa
(language acquisition device). Oleh karena itu, pada hakikatnya manusia dapat
memperoleh bahasa apapun juga bergantung pajanan bahasa yang berada di
sekitarnya. Tidak pernah ada bukti pemerolehan bahasa berkait dengan pembawaan
lahiriah, seperti berdasar warna kulit (hitam, putih), suku atau etnis (Jawa,
Madura, Asia, Eropa). Yang sudah terbukti manusia berbahasa 'kera' karena sejak
lahir ia hidup dalam pajanan teriakan kera, si George berbahasa Jawa karena
dibesarkan dalam pajanan bahasa Jawa, atau Sugeng berbahasa Inggris karena
dididik dalam pajanan bahasa Inggris. Oleh karena itu, jika ikatan
primodialisme dapat dilepaskan, bukanlah sebuah problem seorang Madura belajar
bahasa Jawa, atau sebaliknya. Fakta semacam ini yang mendasari munculnya
ancangan lintas-budaya (cross-cultural) yang mengiringi PH.
Sebagaimana
manusia itu pada hakikatnya anekamatra (multidimentional), demikian juga
bahasa. Menurut van Ek, bahasa itu bermatra moral, emosional, intelektual,
sosial, instrumental/manajerial, dan faktual. Matra berbeda dengan guna,
sehingga menafsirkan matra atau dimensi moral sebagai guna atau fungsi moral
bahasa tidaklah pada tempatnya. Matra atau dimensi itu adalah sisi yang
mengeksistensikan substansi. Bahasa bermatra moral dengan demikian berarti
substansi bahasa dieksistensikan oleh sisi moral. Bahasa bermatra emosional
berarti substansi bahasa dieksistensikan oleh sisi emosional. Begitulah juga
dengan matra yang lain. Perbedaan nilai 'kekasaran dan kehalusan' suatu bahasa
sering ditarik lurus dengan 'kekasaran dan kehalusan' penuturnya. Orang Jawa
itu 'halus', katanya. Perkataan itu tidak dapat lepas dari bahasa Jawa yang
dikenal 'halus'.
Jika manusia
itu memiliki cita, rasa, dan karsa, maka demikianpun bahasa. Stevick (1990)
mengatakan bahwa bahasa itu mengungkapkan feelings seperti emosi personal,
apresiasi estetis, mengungkapkan relasi sosial seperti kebertemanan, kerja
sama, mengungkapkan responsibilitas seperti kekritisan, swakoreksi,
mengungkapkan intektualitas seperti pengetahuan, penalaran, pemahaman, dan
mengungkapkan aktualitas diri seperti keunikan dan kebebasan. Stevik tidak
memaksudkan bahasa sebagai pengungkap rasa, relasi, responsibilitas, intelektualitas,
dan aktualitas diri tetapi ia memaksudkan bahasa itu mengungkapkan itu semua.
Jika bahasa sebagai pengungkap berarti bahasa terpisah dengan yang diungkapkan,
dan bahasa hanyalah sebagai instrumen. Akan tetapi jika bahasa mengungkapkan berarti
yang diungkapkan itu manunggal dan bahkan sekaligus sebagai kesejatian bahasa
itu. Sekali lagi, jika cita, rasa, dan karsa itu tidak dapat dipisahkan dari
manusia dan merupakan kesejatian manusia, maka demikianpun bahasa itu tidak
dapat dipisahkan dari cita, rasa, dan karsa yang merupakan kesejatian bahasa.
Jika cita, rasa, dan karsa menjadi determinan manusia, maka bahasa juga menjadi
determinan manusia.
C. Ciri PH Sebagai Pendekatan Alternatif
Paham
determinisme yang mendasari PH, menurut Stevick (1990) ditandai oleh penekanan
dan penghargaan pada (1)keunikan, (2)kebebasan, dan (3)kemar-tabataan siswa
sebagai manusia. Dalam tinjauannya atas ketujuh pendekatan pembelajaran bahasa
yang pernah ada (tatabahasa terjemahan, audiolingual, metode langsung, TPR atau
respon fisik total, natural, sugestopedia, dan komunikatif), Stevick
mempersoalkan pendekatan-pendekatan tersebut dalam tiga pertanyaan, apakah ciri
keunikan manusia dalam diri pembelajar ditempatkan dalam pendekatan itu, apa
bentuk kekebasan yang diupayakan oleh pendekatan itu, serta bagaimana
pendekatan itu berkontribusi pada kemartabatan manusia. Sesuai dengan
karakteristik setiap pendekatan, kandungan ketiga ciri yang semestinya
ditekankan dalam pembelajaran bahasa oleh setiap pendekatan tidaklah sama.
Manusia itu
unik, tidak ada satu manusiapun yang sama. Demikianlah juga siswa sebagai
pembelajar bahasa, tidak satupun di antara mereka sama. Walaupun mereka
sama-sama sebagai seorang suku Jawa, berbahasa ibu bahasa Jawa, misalnya, namun
mereka pastilah memiliki keunikan dalam hal tertentu. Yang satu berasal dari
keluarga yang berbahasa Jawa dalam dominasi ragam ngoko, tetapi mungkin yang
lain berasal dari keluarga berbahasa Jawa yang lebih didominasi ragam krama,
Yang satu pajanan bahasanya lebih banyak imperatif, yang lain deklaratif. Yang
satu lebih banyak mengakuisisi pada aspek reseptif, yang lain lebih pada aspek
ekspresif. Keunikan itu tidak boleh dikuburkan dengan alasan klasikal.
Hal itu
berarti diperlukan pengembangan model pembelajaran yang toleran terhadap
keunikan individual siswa. Model itu bertenggang rasa pada pengalaman berbahasa
siswa, serta bertanggung asa pada pengharapan berbahasa siswa. Oleh karena itu,
tidak menutup kemungkinan, pada satu peristiwa pembelajaran, terjadi beberapa
kelompok minat yang diikat oleh kompetensi dasar yang sama. Setidak-tidaknya
model tersebut berpumpunan dan berpandangan pada perspektif siswa.
Perwujudannya, misalnya, dilakukan dengan melibatkan siswa dalam merancang isi
dan proses pembelajaran. Demikianpun dalam evaluasi hasil belajar, capaian
diukur dari sudut pandang siswa dan bukan dari sudut pandang guru.
Terkait
dengan keunikan, ciri kedua yang ditekankan oleh PH adalah kebebasan. Tidak
seorangpun siswa dalam proses pembelajaran merasa ditekan dan tertekan oleh
yang lain. Artinya, mereka belajar dalam kondisi psikologis bebas, leluasa
tanpa tekanan. Penubian seperti terjadi pada pendekatan langsung ataupun
audiolingual merupakan manifestasi tekanan pada kebebasan. Meminta siswa melakukan
perbuatan sesuai perintah-perintah seperti pada sugestopedia pasti juga
mengurangi kadar kebebasan ini. Oleh karena itu, PH berusaha menawarkan
berbagai alternatif kegiatan pembelajaran yang dapat dipilih siswa sesuai
kemauannya dan minatnya.
Pengembangan
model pembelajaran yang demikian itu, misalnya, dapat dilakukan dengan
menyediakan sejumlah alternatif wacana pada pembelajaran aspek membaca,
sejumlah alternatif bentuk tulisan pada pembelajaran menulis, sejumlah
alternatif tema dan konteks pada pembelajaran aspek wicara, dan sebagainya.
Dalam hal ini kreativitas guru serta kemampuan manajerial guru memegang peranan
penting. PH memang memerlukan guru yang kreatif untuk mendadal kompetensi dalam
aneka aktivitas berbahasa yang setara, serta guru yang mumpuni dalam mengelola
aneka aktivitas tersebut dalam satu kesatuan koordinatif kompetensi tertentu.
Pada
giliriannya, model pembelajaran itu dapat mengantar siswa dalam mencapai
martabatnya sebagai manusia. Pastilah manusia itu bukan mesin! Pembelajaran
bahasa dengan pendekatan saintifik-struktural dinilai gagal karena tidak
mengantar siswa mencapai martabatnya dengan bahasa yang dipelajarinya. Siswa
belajar kaidah-kaidah bahasa, tetapi gagal dalam mengaktualisasikan dirinya
sebagai makhluk individual maupun sosial dengan bahasa yang dipelajarinya.
Adalah ironi, jika oleh sebab capaian dari pembelajaran bahasa membuat siswa
terasing dari komunitas bahasa yang dipelajarinya. Model-model pembelajaran
yang pernah ada tidak bisa menyangkal diri dari realitas tersebut, yakni siswa
takut salah (karena tidak sesuai kaidah) dalam berbahasa, siswa kurang adaptif
(karena pola-pola bahasa tertentu) terhadap situasi berbahasa, sehingga siswa
terasing atau mengasingkan diri dari komunitas bahasa yang bersangkutan.
Bertahun-tahun siswa belajar bahasa Inggris, tetapi jika ada situasi yang
menawarkan keterlibatannya di dalam situasi tersebut, justru dihindari. Jika
PBJ juga berakibat seperti itu, maka hal itu mengindikasikan ketak-humanistikan
pendekatan pembelajaran yang digunakannya.
Kondisi-kondisi
macam apa sajakah yang menjauhkan pembelajaran bahasa dari karakter
kehumanistikan? Pertama, guru berkehendak mencapai kemajuan yang sama pada
semua siswanya. Hal ini kadang termanifestasi pada pembandingan siswa tertentu
yang cakap dengan siswa lain yang lamban kemajuan belajarnya. Ungkapan guru
yang sering terlontar, Kowe iku ora kaya Sugeng atau Contonen Sugeng ika, le!
Lebih parah lagi jika guru berkehendak siswanya menjadi sama dengan dirinya,
seperti yang telah diuraikan di muka. Kesadaran heterogenitas yang terpendam
oleh homogenitas dan uniformalitas dapat berakibat pada situasi yang menjauhkan
pembelajaran bahasa dari ciri PH. Dalam konteks itu, pengelompokan siswa dalam
kelas didasarkan pada pemisahan cepat dan lambat belajar bertentangan dengan
kehumanistikan ini.
Kedua,
dengan alasan demi kedisiplinan, guru terlalu rigid (keras, kaku) mengatur
siswanya. Tugas-tugas diberikan dengan terlalu banyak aturan yang tidak
sepenuhnya bergayut dengan substansinya. Ketentuan teknis administratif
dikedepankan, hingga menutupi prinsip pragmatis ekspresi berbahasanya. Untuk
mendukung hal itu, kadang dibumbui dengan ancaman. Yen telat ngumpulke tugas
bijine disuda, utawa ora nggawe tugas bijimu lima. Pembelajaran menjadi sumber
stres atau tekanan mental yang dapat menghambat belajar. Semua itu
mengakibatkan kesenjangan yang makin lebar antara yang cakap dengan yang tidak
cakap, yang rajin dengan yang malas. Di samping itu, akibat terparah ialah
siswa menjadi antipati pada PBJ, dan jika itu dibiarkan terus-menerus, maka PBJ
sedang berada dalam kontribusi proses dehumanisasi pada siswa.
Oleh karena
itu, ketiga, PBJ yang tidak menoleransi kesalahan siswa bertentangan juga
dengan kehumanistikan. Kesalahan, kekurangberhasilan siswa dalam pencapaian
kompetensi tertentu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses
pembelajaran. Salah adalah bagian dari proses berubah, kegagalan adalah tahapan
menuju keberhasilan. Kebelumsempurnaan menjadi ciri manusia muda. Drijarkara
(1962) pengembang pendidikan humaniora dengan pendekatan dialogalnya menyatakan
bahwa, tugas pendidikan mengantar manusia muda (baca: berpotensi) menuju ke
manusia purna. Pendidikan itu pada hakikatnya proses memanusiakan manusia.
Toleransi pada kesalahan siswa diwujudkan dengan membiasakan siswa untuk
menghargai kesalahan itu dengan tidak menghapusnya dari catatan, tetapi dengan
menandainya dengan coretan atau silangan, kemudian menuliskan pembetulannya di
samping kanan/kiri, atau atas/bawah kesalahan tersebut.
D. Guru
Ideal dalam PH
PH yang
dikembangkan oleh Earl W. Stevick (1990), sesungguhnya mereferensi pada
Pembelajaran Bahasa Bersama (Community Language Learning) yang dikembangkan
oleh Charles A. Curran (1972), Cara Diam (Silent Way) dari Caleb Gattegno
(1972), dan Sugestopedia dari G. Lozanov (1979). Seperti pada model konseling,
Curran mengintroduksi peran guru -yang oleh Stevick disebut sebagai konsep yang
elusif (susah dipahami)-- yakni mengambil rupa (incarnation) atau penitisan, dan
mengentaskan (redemption) atau penyelamatan, yang merupakan ungkapan teologis
kenabian.
Guru yang
berposisi sebagai yang tahu, fasih, terampil berbahasa atau sebut saja sebagai
pribadi matang dan dewasa dalam bahasa diharapkan dapat mengambil rupa atau
menitis sebagai siswa yang sedang bertumbuh, sebagaimana ia dulu berusia
seperti para siswa. Oleh karena itu inkarnasi atau penitisan merupakan proses
penyelarasan atau penyesuaian diri oleh guru dengan siswanya. Guru berperan
(seolah-olah) sebagai siswa. Artinya, ia tidak tampil sebagai yang serba tahu
(meskipun memang seharusnya lebih tahu). Di sinilah inkarnasi itu juga sebagai
penyangkalan (forgoing) kekuasaan. Mengapa PH menuntut peran guru demikian?
Pamer
kepintaran di hadapan siswa identik dengan penciptaan jarak atau kesenjangan
antara guru dan siswa. Bahkan lambat laun tidak hanya berjarak, tetapi juga
berbatas alias berpagar. Jika sudah demikian, relasi guru dan siswa tidak lagi
dapat akrab, sehingga ia akan berkesulitan dalam negosiasi kegiatan
pembelajaran. Puncak itu semua ialah 'penolakan' siswa pada guru tersebut.
Lebih-lebih jika pameran kekuasaan itu ditunjukkan dengan kecenderungan
mencari-cari kesalahan siswa dalam pembelajaran bahasa. Guru hadir di tengah
siswa untuk membangkitkan semangat (ing madya mangun karsa), namun kekuasaan
atau kemampuannya disembunyikan (tut wuri handayani), dan memang karena
kemampuannya itu, ketika ia harus di depan mampu juga memberikan contoh kepada
siswanya (ing ngarsa sung tuladha).
Seperti telah
disinggung di muka, tugas guru adalah mendampingi yang lambat belajar. Inilah
yang dalam bahasa Curran disebut sebagai redemption atau penyelamatan. Lebih
peduli pada siswa yang lemah tanpa mengabaikan yang kuat merupakan perwujudan
peran guru sebagai redemptor karena yang telah mencapai atau memiliki
kompetensi berbahasa sebagaimana seharusnya dikuasai oleh siswa berarti telah
mencapai dan memiliki kemartabatannya sebagai manusia. Oleh karena itu,
memberikan perhatian yang lebih pada yang lemah merupakan upaya mengantar yang
bersangkutan mencapai kemartabatannya sebagai manusia. Remidial dalam bentuk
pendalaman bagi yang lemah, dan pengayaan bagi yang kuat merupakan wujud dari
peran redemptor ini.
E. PH
dan Pengembangan Budi Pekerti Luhur
PH menghargai
keunikan, kebebasan, dan kemartabataan siswa sebagai manusia. Perwujudan
penghargaan keunikan mengadaikan manusia dapat memahami diri sendiri dan
memahami orang lain, serta menghargai perbedaan antara dirinya dan orang lain,
kemudian menempatkan diri secara tepat di hadapan orang lain. Manusia dapat
mengetahui sapa sira sapa ingsun, dan membangun keselarasan dalam keperbedaan
antara ingsun dan sira. Karakteristik bahasa Jawa yang di dalamnya mengenal
salah satunya unggah-ungguh basa serta undha-usuk basa potensial membelajarkan
siswa pada pemahaman dan penghargaan atas perbedaan, dan penempatan diri secara
selaras dalam keperbedaan. Optimalisasi budi pekerti luhur semacam itu
terfasiltasi bukan oleh pendekatan pembelajaran bahasa yang menempatkan bahasa di
luar dirinya melainkan oleh pendekatan yang menembpatkan bahasa sebagai jati
dirinya.
Penerimaan
dan penghargaan atas keunikan akan bermuara pada kebebasan (mardika). Ketika
yang satu mengenal yang lain, dan menghargai perbedaannya dengan yang lain,
serta membangun keselarasan dengan yang lain, maka tidak satupun di antara yang
lain terganggu (baca: tidak bebas) oleh yang lain. Pembelajaran yang dapat
mengarahkan pada sikap semacam itu merupakan perwujudan dari personalisasi
pendidikan dan bukan individualisasi pendidikan. Kepersonalan siswa ditempatkan
dan ditumbuhkembangkan dalam kekomunalan atau keguyubannya dengan siswa lain.
Pelatihan penggunaan bahasa Jawa di tengah kondisi sosiolinguistis seperti
diuraikan di muka mengasah ketajaman siswa dalam mengekang kebebasan diri dan
membiarkan kebebasan orang lain. Dengan demikian, sekali lagi, PH dalam PBJ
dapat berkontribusi dalam pengembangan budi pekerti luhur: pengekangan diri dan
pembiaran orang lain.
Jika
demikian, maka setiap pembelajar akan tumbuh dan berkembang dalam
kemartabatannya. Salah satu martabat manusia adalah sebagai makhluk personal
dan sosial. Dalam PH, bahasa Jawa tidak dipelajari sebagai kaidah tetapi
sebagai aktualisai diri dalam segala matranya (moral, emosional, intelektual,
sosial, instrumental/manajerial, dan faktual). Hal itu berarti belajar bahasa
Jawa itu inklusif belajar tentang nilai-nilai moral, nilai emosional,
intelektual, sosial, manajerial, dan faktual. Karakteristik bahasa Jawa
berpotensi menyuburkan nilai-nilai itu bukan saja sebagai pengetahuan melainkan
sebagai keterampilan dan sikap. Untuk menyapa mitra bicara yang secara sosial
hirarkial lebih tinggi tersedia pilihan kata panjenengan, jengandika, handika,
paduka. Pelatihan pemilihan kata yang tepat sesuai mitra bicara tidak hanya
melatih aspek pengetahuan, akan tetapi lebih-lebih melatih aspek sikap-sikap
luhur.
Penggunaan
PH dalam PBJ memerlukan model pembelajaran yang bergayut. Sesuai dengan
prosedur pembelajaran yang lazim terbagi atas kegiatan awal, ini dan akhir,
beberapa model yang dapat digunakan adalah perencanaan, empatik untuk membuka
pelajaran; eksperimental, rekonstruktif, nosional untuk kegiatan inti; dan
sosioafektif untuk menutup pelajaran. Terbuka kemungkinan juga pengembangan
model-model pembelajaran oleh guru di lapangan.
F. Wasana
Setiap guru
dan lebih-lebih guru bahasa Jawa harus tetap menyadari akan tugas pokoknya,
yakni mendidik dan bukan mengajar. Curran secara serta merta menegaskan tugas
guru dalam PH itu sebagai edukator humanistik (dan bukan pengajar humanistik).
Bahasa Jawa yang dikenal mengandung nilai-nilai luhur amatlah tepat menjadi
alternatif pendidikan karakter dengan pengembangan budi pekerti luhur pada
siswa, sebagaimana didengung-dengungkan akhir-akhir ini. Dengan dukungan
penggunaan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan PBJ di
sekolah-sekolah, dan ditangani oleh guru yang mumpuni (profesional) yang dapat
mewujudkan peran sebagai penitis dan pengentas, niscaya PBJ akan dapat
berkontribusi pada pengembangan karakter siswa.
G.
Sumber
-
Anthony, E.M.
1963. “Approach, method and technique” English Langaage Teaching. New York:
McGraw-Hill.
-
Bickerton, D.
1995. Language and Human Behavior. Seattle: University of Washington
Press.
-
Breen, M.P. dan
Candlin, C.N. 1980. The Communicative Curriculum in Language Teaching. London:
Longman.
-
Curran, C.A. 1976.
Counseling-Learning in Second Languages. Apple River III: Apple Rivers Press.
-
Drijarkara, N.
1962. Percikan Filsafat. Jakarta: PT Pembangunan Jaya.
-
Dubin, F. dan
Olshtain, E. 1992. Course Design: Developing Programs and Materials for
Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press.
-
Gategno, C. 1972.
Teaching Foreign Languages in Schools: The Silent Way. New York: Educational
Solution Inc.
-
Halliday, M.A.K.
dan Hassan, R. 1985. Languge, Context, and Text: Aspect of Language in a
Social-Semiotic Perspective. Tou, A.B. dan Ramlan (a.b.). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
-
Hath, E. 1992.
Dircourse and Language Education. Cambridge: Cambridge University Press Littlewood, W. 1981. Communicative Language Teaching: An
Introduction. Cambridge: Cambridge University Press.
-
Lozanov, G. 1979.
Suggestology and Outlines of Suggestopedy. New York: Gordon and Breach. Mohan,
B, 1992. “Kerangka Terpadu untuk Pembelajaran bahasa dan Isi” dalam Bahasa
dalam Pembelajaran, Tickoo (ed.). Jakarta: Ribea Indah Prakasa
-
Moi, Ng. S. 1992.
“Strategi Penerapan dalam Pendekatan Ingratif untuk Pengajaran Membaca dan
Bahasa” dalam Bahasa dalam Pembelajaran, Tickoo (ed.). Jakarta: Ribea Indah
Prakasa.
-
Norton, D.E. dan
Norton, S. 1993. Language Art Activities for Children. New York: Macmillan
College Publishing Company.
-
Omaggio, A.C.
1986. Teaching Language in Context: Profiency Oriented Instruction. Boston:
Heinle & Heinle Publisher.
-
Purwa, B.K. 1997.
Pokok-pokok Pengajaran Bahasa dan Kurikulum 1994: Bahasa Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
-
Purwa, B.K. 1990.
Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius.
-
Richards, J. 1985.
The Context of language Teaching. New York dan Cambridge: Cambridge University
Press.
-
Richards, J. dan
Rodgers, S.Th. 1986. Approach and Method in Language Teaching. Cambridge:
Cambridge University Press.
-
Savignon, S.J.
1983. Communicative Competence: Theory and Classroom Practice. Massachusetts:
Addison-Wesley Publishing Company.
-
Stern, H,H. 1975.
“What can we learn from the good language learner?” Canadian Modern Language
Review. Canada: 4 Oakmount Road.
-
Stern, H,H. 1983.
Fundamental Concept of Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.
-
Stevick, E.W.
1990. Humanism in Language Teaching: A Critical
Perspektive. Oxford: Oxford University Press.
Perspektive. Oxford: Oxford University Press.
-
Tarigan, H.G.
1993. Strategi Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa. Bandung: Penerbit Angkasa.
-
Terrel, T.D. 1977.
“A Natural Approach to Second Language Learning and Acquisition” Modern
Language Journal. Wisconsin: University of Wisconsin Press.
-
Tickoo, M. (ed.)
1992. Bahasa dalam Pembelajaran. Jakarta: Ribea Indah Prakasa.
-
Tomlinson, B.
1998. Material Development in Language Teaching. Cambridge: Cambridge
University Press.
-
van Ek, J.A. 1980.
The Theshold Level for Modern Language Learning in Schools. London: Longman.
-
van Els, T.
dkk.1984. Applied Linguistics and Learning and Teaching of Foreign Language.
Maryland: Edward Arnold.
-
Yohanes, B. 1993.
“Alternatif Penyiasatan Pendekatan Komunikatif dalam Pengajaran Bahasa
Indonesia” dalam Prasasti (2/Th III). Surabaya: FPBS IKIP Surabaya.
-
Yohanes, B. 1995.
“Komunikatif, Integratif, dan Tematis dalam GBPP Bahasa Indonesia 1994: Hakikat
dan Siasat” dalam Wahana (17/Th III). Surabaya: IKIP PGRI Surabaya.
0 Komentar:
Posting Komentar