BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Adanya keterkaitan yang sangat jelas antara
sejarah pemerintahan pada zaman dahulu terhadap tatanan pemerintahan di masa
sekarang. Dalam makalah ini dibahas tentang terjadinya dekrit presiden 5 Juli
1959 yang dikeluarkan oleh presiden Sukarno yang harus diketahui sejarahnya dan
mendapat perhatian khusus menurut perkembangan politik di Indonesia .
Dilihat
dari perspektif umum, ada beberapa hal penting yang perlu didiskusikan tentang
dekrit presiden 5 Juli 1959. Pertama, pengertian dan ruang lingkup dari Dekrit
dan Konstitusi itu sendiri. kedua, tentang latar belakang dikeluarkannya
keputusan tersebut. Jawaban dari masalah yang pertama adalah bahwa suatu dekrit
adalah keputusan yang ditetapkan oleh Presiden.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
latar belakang munculnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ?
2.
Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 dan
kaitannya dengan Konstitusi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
a.
Dekrit
Presiden
Dekrit berasal dari
kata Decree yang berarti keputusan. Keputusan disini diartikan keputusan yang
diambil oleh presiden dalam hal pemerintahan atau kenegaraan.
b.
Pengertian
Konstitusi
Konstitusi
(constitution) berasal dari bahasa Perancis constituer yang berarti membentuk.
Maksud dari isitilah tersebut ialah pembentukan, penyusunan, atau pernyataan
akan suatu negara. Dalam bahasa latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari
dua kata, yakni cume, berarti “bersama dengan .. “ dan statituere berarti
“membuat sesuatu agar berdiri “ atau mendirikan, menetapkan sesuatu. Namun
banyak ahli yang mengatakan bahwa arti Konstitusi yang lebih tepat adalah hukum
dasar. Lembaga yang diserahi tugas untuk membuat Undang-Undang Dasar disebut
Badan Konstituante .
Selain konstitusi
yang tertulis, terdapat pula konstitusi yang tidak tertulis atau biasa disebut,
konvensi. Konvensi adalah kebiasaan yang timbul dan terpelihara dalam praktek
ketatanegaraan.
Menurut Wirjono
projodikoro (1977), konstitusi berasal dari kata kerja “constituer” (prancis)
yang berarti “membentuk”. Jadi, konstitusi berarti pembentukan. Dalam hal ini
yang dibetuk adalah suatu Negara, maka konstitusi mengandung permulaan dari
segala peraturan pokok mengenai sendi-sendi pertama Negara.
Sementara itu
K.C.Wheare F.B.A. dalam bukunya “Modern Constitution
(1975) “ ,membedakan istilah konstitusi dalam dua pengertian yaitu sebagai berikut :
a.
Pertama,
digunakan untuk menunjukkan pada keseluruhan rules (aturan hukum ) mengenai
system ketatanegaraan.
b.
Kedua,
menunjukkan pada suatu dokumen yang memuat aturan-aturan dan
ketentuan-ketentuan yang pokok dan dasar mengenai ketatanegaraan pada suatu
Negara.
c.
Sebagai
hukum dasar, perumusan isi Konstitusi sendiri disusun secara sistematis mulai
dari prinsip umum dan mendasar sampai pada prinsip kekuasaan secara berurutan.
Konstitusi suatu Negara dapat berupa hukum dasar tertulis (sering disebut UUD)
dan hukum dasar tidak tertulis (konvensi). Hampir semua Negara mempunyai
konstitusi atau Undang-undang Dasar. Konstitusi memuat ketentuan-ketentuan
pokok yang menjadi salah satu sumber dari peraturan perundang-undangan yang
lain tapi tidak semua Negara memiliki konstitusi tertulis. Contohnya Inggris,
Negara ini tidak memiliki satu naskah undang-undang dasar sebagai konstitusi
tertulis.
Sejak
tanggal 18 Agustus 1945 hingga sekarang di Negara Indonesia pernah menggunakan
tiga macam UUD yaitu UUD 1945, konstitusi RIS 1949, dan UUD Sementara 1950.
B. Latar
belakang dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli 1959
Suasana bernegara yang semula sudah cukup
tenang, kembali meruncing ketika pihak lain mengancam jika Pancasila tidak diterima
sebagai dasar negara maka saudara-saudara kita di Indonesia bagian Timur akan
memisahkan diri dari Republik Indonesia. Bung Karno sebagai Presiden
Konstitusional yang seharusnya berdiri di atas semua golongan tanpa memihak
kepada sesuatu kelompok, pada tanggal 27 Januari 1953, dalam suatu pidato di
Amuntai, Kalimantan Timur memprogandakan Pancasila sebagai ideologi yang
mempersatukan dengan terang-terangan menentang kemungkinan Islam dijadikan
sebagai dasar negara. Silang pendapat pun terjadi. Masyumi sendiri, seperti
tercermin dari dua tokoh utamanya waktu itu, Natsir dan Soekiman, mencoba
menahan diri. Mereka menganggap bahwa pidato Bung Karno tersebut hanya sekedar
pencerminan ketidaktahuan banyak orang terhadap ideologi Islam. Menurutnya
penamaan negara Nasional atau negara Islam hanyalah menambah kekusutan pikiran.
Pidato inilah salah satu hal yang memicu
terjadinya kontroversi situasi yang mendahului pelantikan para anggota Majelis
Konstituante oleh Presiden Sukarno pada tanggal 10 November 1956. Keberadaan
Konstituante diatur oleh UUDS tahun 1950, yakni pada bab V pasal 134 (1 ayat),
135 (3 ayat), 136 (1 ayat), 137(3 ayat), 138(2 ayat) dan 139(4 ayat ) .
Akhirnya di konstituante itulah mengkristal
dua pendapat Islam sebagai dasar negara, Nasionalis Islami murni Islam
semuanya, Nasionalis pendukung Pancasila, terdiri dari Kristen, Katolik, Murba,
Komunis, dan lain - lain. Konstituante harus menemukan jalan penyesuaian yang sebaik-baiknya
dari masalah tersebut. Tetapi jalan ke arah penyelesaian yang lebih cerdas dan
dewasa terhalang oleh kenyataan bahwa Konstituante telah tidak mungkin lagi
melanjutkan sidang-sidangnya. Kalangan tertentu, memboikot terlaksananya
kelanjutan persidangan konstituante. Belakangan dimunculkan bahwa konstituante
telah gagal melaksanakan tugasnya. dalam kesimpulan study nya mengenai
konstituante, Adnan Buyung Nasution menulis :
“Pada akhir studi saya ini, saya ingin
menekankan bahwa tidak terdapat bukti-bukti yang mendukung tuduhan bahwa
konstituante gagal menyusun rancangan Undang-undang Dasar karena pertentangan
tersebut, yang sangat menonjol dalam perdebatan mengenai dasar negara.
Kenyataan menunjukkan bahwa Konstituante tidak diberi kesempatan untuk
menyelesaikan proses pertimbangan dan pembahasan mengenai soal ini. Sebelum
perdebatan mencapai titik yang memungkinkan terungkapnya sikap terakhir dari
fraksi-fraksi yang bertentangan, maka penilaian terhadap hasil perdebatan
ideologis ini harus dianggap terlalu dini, ..“ .
Seperti sama-sama kita maklumi pula, tidak ada
satupun dari kedua kelompok besar yang berhasil menggolkan konsepnya, karena
tidak ada satupun diantara keduanya yang berhasil memenuhi syarat yang telah
mereka tetapkan bersama, yakni meraih persetujuan dua pertiga dari suara yang
hadir dalam majlis. Majlis ini menemui jalan buntu pada bulan Juni 1959,
disebabkan karena mayoritas para anggotanya terutama mereka dari fraksi-fraksi
bukan Islam menolak untuk menghadiri lagi sidang di Bandung. Menghadapi situasi
krisis konstitusional ini, Presiden Sukarno turun tangan dengan sebuah Dekrit
Presiden yang disetujui oleh kabinet pada tanggal 3 Juli 1959.
Dekrit itu dirumuskan di Istana Bogor pada 4
Juli 1959, dan diumumkan secara resmi oleh Presiden Sukarno pada hari Ahad 5
Juli 1959 jam 17.00 di depan Istana Merdeka, Jakarta. Apapun penilaian orang
terhadap Konstituante, pada kenyataannya Presiden Sukarno membubarkan
Konstituante melalui sebuah Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959, yang bunyi
lengkapnya sebagai berikut:
Dengan Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI
ANGKATAN PERANG
Dengan ini menyatakan dengan hikmat ,
Bahwa anjuran presiden dan pemerintah untuk
kembali pada Undang-Undang Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat
Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh
keputusan dari konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar
Sementara ;
Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar anggota-anggota sidang pembuat Undang-undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya;
Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar anggota-anggota sidang pembuat Undang-undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya;
Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan
ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan
bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang
adil dan makmur;
Bahwa dengan dukungan terbesar rakyat
Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh
satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negara proklamasi;
Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945
menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan
dengan konstitusi tersebut;
Maka atas dasar-dasar tersebut diatas;
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI
ANGKATAN PERANG
Menetapkan pembubaran konsituante;
Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal
penetapan Dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-undang Dasar Sementara;
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara, yang terdiri atas
anggota-angota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan, serta pembentukan dewan pertimbangan agung
sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 5 Juli 1959
Dengan jalan dan cara ini, maka kata Prawoto
Mangkusasmito “Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah menjadi sumber hukum bagi
berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 “. “Dekrit mengantar berlakunya kembali
Undang-undang dasar 1945, adalah suatu bentuk hukum yang penting”, kata
Mohammad Roem, ”tentu tidak ada satu perkataan pun yang dapat dipandang tidak
berarti.”
C.
Dekrit Presiden dan Kaitannya dengan
Konstitusi.
Undang-undang dasar 1945 “yang dijiwai oleh
Piagam Jakarta yang merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi
tersebut” itu telah diterima secara aklamasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat hasil
pemilihan umum 1955, dimana di dalamnya duduk lebih kurang 44% anggota yang
mewakili seluruh Nasionalis Islami tanggal 22 Juli 1959. “Dekrit ini ....
dengan demikian “, komentar Prawoto, ketua umum partai islam Masyumi, ”menjadi
landasan bersama (common platform) bagi semua aliran dan golongan warga negara
Indonesia, yang harus ditegakkan bersama-sama dengan saling menghormati
identitas masing-masing.” Di dalam nota nya kepada Presiden Republik Indonesia,
28 Juli 1959, Masyumi menyampaikan pernyataan dan peringatan sebagai berikut:
Mulai saat itu (Dekrit), sesuai dengan pembawaan Masyumi, maka Masyumi tunduk
kepada Undang-Undang Dasar yang berlaku dan oleh karena nya, merasa berhak pula
untuk meminta, dimana perlu untuk menuntut, kepada siapapun, juga sampai kepada
pemerintah dan Presiden untuk tunduk pula kepada Undang-Undang Dasar sebagai
landasan bersama hidup bernegara.
Tujuh tahun kemudian, memorandum Dewan Perwakilan Rakyat gotong royong tertanggal 9 Juni 1966 juga memberi justifikasi atas dekrit presiden tersebut antara lain sebagai berikut:
Tujuh tahun kemudian, memorandum Dewan Perwakilan Rakyat gotong royong tertanggal 9 Juni 1966 juga memberi justifikasi atas dekrit presiden tersebut antara lain sebagai berikut:
Meskipun dekrit 5 Juli 1959 itu merupakan suatu tindakan darurat, namun
kekuatan hukumnya bersumber pada dukungan seluruh rakyat Indonesia, terbukti
dari persetujuan DPR hasil pemilihan umum (1955) secara aklamasi pada 22 Juli
1959.
Memorandum DPR – GR termaksud diatas kemudian
juga menggaris bawahi kedudukan piagam Jakarta persis seperti yang direkam di
dalam Dekrit Presiden itu. “dengan demikian, maka berdasarkan dekrit presiden 5
Juli 1959 itu, berlaku kembalilah bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia
Undang- Undang Dasar 1945.” Memorandum DPR tersebut kemudian pada tanggal 5
Juli 1966 di terima baik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara di dalam
ketetapannya No.XX/MPRS/1966. Dengan demikian putusan DPR yang dituangkan di
dalam memorandum tersebut ditingkatkan menjadi ketetapan MPRS.
D.
Pemahaman Dekrit
Presiden 5 Juli 1959
Untuk memahami lebih baik kandungan makna
Dekrit Presiden tersebut dalam hubungannya dengan berlakunya Undang-undang Dasar
1945 pada satu segi dan berbagai
formulasi resmi Pancasila pada segi lainnya ,maka teramat pentinglah kandungan
isi dan makna penjelasan resmi Undang-Undang Dasar 1945, pasal “umum”, angka I,
yang berbunyi sebagai berikut :
Undang-undang dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya
dasar negara itu. Undang-undang dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang
di samping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak
tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan Negara, meskipun tidak tertulis. Di dalam bukunya Demokrasi
Pancasila Profesor Hazairin menulis bahwa ada 4 Negara Republik Indonesia
dikenal dalam sejarah: pertama dari 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949;
kedua dari 27 Desember 1949 sampai 15 Agustus 1950; ketiga dari 15 Agustus 1950
sampai 5 Juli 1959; dan yang keempat dari 5 juli 1959 sampai sekarang.
...Maka dengan Dekrit (Presiden 5 Juli 1959 ) itu menjelmalah NRI/IV(Negara Republik Indonesia/IV), yang menggantikan NRI/III dan sama sekali bukan menggantikan NRI/I yang telah berakhir semenjak 27 Desember 1949.
...Maka dengan Dekrit (Presiden 5 Juli 1959 ) itu menjelmalah NRI/IV(Negara Republik Indonesia/IV), yang menggantikan NRI/III dan sama sekali bukan menggantikan NRI/I yang telah berakhir semenjak 27 Desember 1949.
Keabsahan pernyataan ini tidak dapat
dibantah, sebagaimana juga pernyataan bahwa dengan Dekrit Presiden tersebut
berarti kembali kepada Undang-undang Dasar 1945, yang bagi banyak orang
mengandung pengertian hidupnya kembali Piagam Jakarta. Doktor Roeslan Abdul
Gani, seorang tokoh utama PNI dalam kedudukannya sebagai Wakil Ketua Dewan
Pertimbangan Agung selaku ketua pembina jiwa Revolusi, menulis :
Tegas-tegas di dalam dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara
historis-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya
dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita, yakni: Jakarta Charter sebagai
menjiwai UUD 1945 dan Jakarta charter sebagai merupakan rangkaian kesatuan
dengan UUD 1945 A. (cetak miring oleh Roeslan Abdul Gani –ESA ).
Profesor A.Sanusi, ketika membahas eratnya
kaitan antara Piagam Jakarta dengan Dekrit, menerangkan bahwa Piagam Jakarta
setelah 5 Juli 1959 disenafaskan dengan konstitusi 1945 .”dengan demikian”,
katanya, “dilegalisir dalam tingkatan konstitusi. Sebagaimana Sanusi, Hazairin
menganggap perujukan dekrit pada Piagam Jakarta “adalah maha penting bagi
penjelasan pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang tanpa perangkaian tersebut akan
menjadi kabur dan dapat menimbulkan berbagai macam tafsir yang bersimpang siur dan absurd.”
Dalam dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959,
yang menentukan berlakunya Undang-undang dasar 1945 bagi seluruh Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terdapat pula pernyataan bahwa
Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang dasar 1945 dan
adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Maksud
dekrit Presiden itu ialah untuk menyelamatkan Republik Proklamasi dan diantara
pertimbangan-pertimbangan untuk mengadakan Dekrit itu ialah disebut
“hubungannya Piagam Jakarta dengan Undang-undang dasar 1945”.
Ahmad Syafi’i Ma’arif yang menulis disertasi
tentang percaturan pemikiran di Konstituante, menulis:
“Tercantumnya konsiderasi sangat penting ini (bahwa Piagam Jakarta
tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian
kesatuan dengan konstitusi tersebut) jelas merupakan suatu kompromi politik
lagi antara pendukung dasar Pancasila dan Dasar Islam. Menurut pertimbangan
kita, bilamana konsiderasi itu mempunyai makna Konstitusional, dan memang
seharusnya demikian, maka, sekalipun hanya secara implisit, namun gagasan untuk
melaksanakan syariat bagi pemeluk agama Islam tidaklah dimatikan”.
Dekrit presiden 5 juli 1959 adalah suatu jalan yang unik. Selama 14 tahun, dari tanggal 22 Juni 1945 waktu ditandatanganinya gentlemen agreement antara pimpinan-pimpinan Nasionalis sekuler dan Nasionalis Islami sampai tanggal 5 Juli 1959, sebelum Dekrit Presiden RI diundangkan, kedudukan ketentuan “kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah persuasive-source. Sebagaimana hasil sidang-sidang BPUPKI adalah persuasive-source bagi grondwet-interpretatie dari UUD 1945, maka Panglima Jakarta sebagai salah satu hasil dari sidang, BPUPKI adalah juga merupakan persuasive-source dari UUD 1945.
Dekrit presiden 5 juli 1959 adalah suatu jalan yang unik. Selama 14 tahun, dari tanggal 22 Juni 1945 waktu ditandatanganinya gentlemen agreement antara pimpinan-pimpinan Nasionalis sekuler dan Nasionalis Islami sampai tanggal 5 Juli 1959, sebelum Dekrit Presiden RI diundangkan, kedudukan ketentuan “kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah persuasive-source. Sebagaimana hasil sidang-sidang BPUPKI adalah persuasive-source bagi grondwet-interpretatie dari UUD 1945, maka Panglima Jakarta sebagai salah satu hasil dari sidang, BPUPKI adalah juga merupakan persuasive-source dari UUD 1945.
Barulah dari ditempatkannya Piagam Jakarta
dalam Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Piagam Jakarta atau penerimaan hukum
islam menjadi authoritative-source, sumber otoritatif dalam hukum tatanegara
Indonesia, bukan sekedar persuasive-soucer atau sumber persuasif.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan demikian dekrit Presiden Tanggal 5
Juli 1959, pukul 17.00 Ir. Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia/Panglima
tinggi Angkatan Perang mengeluarkan Dekrit, yang menyatakan, bahwa terhitung
mulai hari tanggal penetapan Dekrit itu UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap
Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan tidak lagi UUDS 1950.
B.
Saran
Indonesia sebagai Negara
Kesatuan pada saat ini harus bisa bercermin dari perjalanan sejarah Negara ini.
Pada 5 Juli 1959 dengan dikeluarkanya Dekrit Presiden merupakan sebuah titik
balik dimana Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah
di dalam proses perkembangan Negara ini mengalami berbagai fase. Untuk itu pada
sekarang kita harus bisa memperjuankan terus apa yang telah dicapai pada waktu
itu.
DAFTAR PUSTAKA
Drs.C.S.T. Kansil, S.H. 1993, Sistem
Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara.
Harjono,
Anwar, S.H. 1997, Perjalanan Politik
Bangsa, Jakarta: Gema Insani Press.
0 Komentar:
Posting Komentar