Masjid Kuno Kuncen atau Masjid Nur Hidayatulloh adalah
masjid tertua yang ada di kelurahan Kuncen, kota Madiun, Provinsi Jawa Timur.
Masjid ini mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi, selain karena bangunan
masjid serta artefaknya, juga terdapat peninggalan-peninggalan kerajaan
terdahulu, terdapat makam para bupati Madiun, terdapat Sendang dan pohon besar
yang merupakan asal usul Kota Madiun.
1.
Tanah Perdikan Kuncen
Beberapa peninggalan Kadipaten/Kabupaten Madiun yang salah
satunya dapat dilihat di Kelurahan Kuncen, dimana terdapat makam Ki Ageng
Panembahan Ronggo Jumeno, Bupati Mangkunegara I, Patih Wonosari dan para Bupati
Madiun lainnya yang merupakan pahlawan-pahlawan pendiri Kota Madiun, selain
makam para bupati, Masjid Tertua di Madiun masih kokoh menjadi saksi, yaitu
Masjid Nur Hidayatullah, artefak-artefak disekeliling masjid, serta sendang
(tempat pemandian) keramat.
2.
Sejarah Masjid Kuno Kuncen
Pada tahun 1568
terjadilah sejarah baru di Kesultanan Demak yang berdampak di daerah Madiun dan
sekitarnya. Setelah berakhirnya perang saudara yang dimenangkan oleh Mas
Karebet atau Jaka Tingkir yang selanjutnya disebut Hadiwijaya, dengan restu
para wali menggantikan kedudukan mertuanya Sultan Trenggono sebagai sultan,
tetapi tidak mau berkedudukan di Demak melainkan memindahkan pusat
pemerintahannya ke Pajang. Putra Sultan Trenggono lainnya atau adik ipar Sultan
Hadiwijaya yang bernama Pangeran Timur oleh Sunan Bonang yang mewakili para
wali diangkat menjadi Bupati Madiun pada tanggal 18 Juli 1568, yang selanjutnya
disebut panembahan Rama atau Ki Ageng Panembahan Ronggo Jumeno yang memerintah
pada tahun 1568 – 1586.
Pada tahun 1575 dengan berbagai pertimbangan Bupati
Pangeran Timur memindahkan pusat pemerintahan dari utara Kelurahan Sogaten ke
selatan menuju Keluran Kuncen dulu Wonorejo. Pangeran Timur selaku Bupati
disamping berkewajiban mengendalikan jalannya pemerintahan, juga membawa misi
penyebaran agama Islam. Pembangunan agama identik atau tidak lepas dengan
pembangunan tempat ibadah yaitu masjid. Dengan demikian patut diduga bahwa masjid
Kuno Kuncen atau disebut Masjid Nur Hidayatullah pada zaman Bupati Pangeran
Timur memerintah Kabupaten Madiun yang berpusat di sekitar Kelurahan
Kuncen dan masjid tersebut berdiri di Kuncen setelah tahun 1575 atau pada akhir
abad XVI.
Status wilayah Wonorejo sebagai tanah makam dan juga ada masjid, maka Kyai yang merawat areal tersebut juga bertindak sebagai kepala desa, dan diberi kebebasan menguasai daerah sekitar area makam dan masjid. Kyai Grubug merupakan guru dalam ilmu agama Islam, dan Kyai Grubug inilah yang pertama kali berkuasa di Desa Perdikan Kuncen ini yang juga mengelola masjid maupun makam, hingga sekarang ada empat belas Kyai yang pernah berkuasa di Desa perdikan Kuncen beserta mengurusi masjid dan makam, diantaranya: 1).Kyai Grubug, 2).Kyai Semin I, 3).Kyai Semin II, 4).Kyai Semin III, 5).Kyai Semin IV, 6). Kyai Djodo, 7).Kyai Muhammad Ngarib, 8).Kyai Kasan Basari, 9).Kyai Muhammad Mardo, 10).Kyai Muhammad Mardi, 11).Kyai Darsono, 12).Kyai Sutopo, 13).Kyai Karsono, 14).Kyai Kentjono
Status wilayah Wonorejo sebagai tanah makam dan juga ada masjid, maka Kyai yang merawat areal tersebut juga bertindak sebagai kepala desa, dan diberi kebebasan menguasai daerah sekitar area makam dan masjid. Kyai Grubug merupakan guru dalam ilmu agama Islam, dan Kyai Grubug inilah yang pertama kali berkuasa di Desa Perdikan Kuncen ini yang juga mengelola masjid maupun makam, hingga sekarang ada empat belas Kyai yang pernah berkuasa di Desa perdikan Kuncen beserta mengurusi masjid dan makam, diantaranya: 1).Kyai Grubug, 2).Kyai Semin I, 3).Kyai Semin II, 4).Kyai Semin III, 5).Kyai Semin IV, 6). Kyai Djodo, 7).Kyai Muhammad Ngarib, 8).Kyai Kasan Basari, 9).Kyai Muhammad Mardo, 10).Kyai Muhammad Mardi, 11).Kyai Darsono, 12).Kyai Sutopo, 13).Kyai Karsono, 14).Kyai Kentjono
Sebenarnya masjid yang ada di Kelurahan Kuncen itu belum ada
nama sama sekali, karena tidak adanya sumber tertulis mengenai nama masjid
tersebut. Selanjutnya dari tahun ke tahun nama masjid kuno yang terdapat di
Kelurahan Kuncen tersebut dahulu dikenal dengan nama Masjid Kuno Kuncen, kerana
keberadaan masjid tersebut berdekatan dengan makam yang terdapat juru kunci
kemudian dinamakan kuncen dan juga disesuaikan dengan nama Kelurahan Kuncen
karena keberadaan masjid berada di Kelurahan Kuncen, maka dari itu masjid kuno
ini dikenal dengan nama Masjid Kuno Kuncen. Selanjutnya pada tahun 1970 warga
Kuncen bersepakat merubah nama masjid sebelumnya Masjid Kuno Kuncen diubah nama
menjadi Masjid Nur Hidayatullah, walaupun sudah dinamakan Masjid Nur
Hidayatullah akan tetapi nama yang masih dikenal oleh warga Madiun sampai
sekarang adalah Masjid Kuno Kuncen.
3.
Asal Mula Nama Madiun
Pada masa pemerintahan Ki Ageng Reksogati dan Pangeran Timur
nama Madiun belum ada, daerah ini dulu disebut Kadipaten Puroboyo. Asal kata
Madiun mempunyai banyak versi, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang,
diantaranya yaitu : gabungan dari : kata “medi” (hantu) dan “ayun-ayun”
(berayunan), yaitu dikisahkan ketika Ki Mpu Umyang/Ki Sura bersemedi untuk membuat
sebilah keris di sendang panguripan (sendang amerta) di Wonosari (Kuncen,
sekarang) diganggu gendruwo/hantu yang berayun-ayun di pinggir sendang, maka
keris tersebut diberi nama ”Tundung Mediun”. Kemudian cerita lain berasal dari
“Mbedi” (sendang) “ayun-ayunan” (perang tanding) yaitu perang antara Prajurit
Mediun yang dipimpin oleh Retno Djumilah di sekitar sendang. Kata ”Mbediun”
sendiri sampai sekarang masih lazim diucapkan oleh masyarakat terutama di
daerah Kecamatan Kare, Madiun. Mereka mengucapkan Mbediun untuk menyebutkan
Madiun. Versi berikutnya adalah Madya-ayun yaitu Madya (tengah) ayun (depan). Pangeran
Timur adalah adik ipar dan juga salah satu bangsawaan Demak yang sangat di
hormati oleh Sultan Hadiwijoyo di Kasultanan Pajang. Pada waktu acara pisowanan
beliau selalu duduk sejajar dengan Sultan Hadiwijoyo di Madya ayun (tengah
depan). Dan letak sendang ini satu kompleks dengan Masjid Kuno Kuncen, ini
sangat strategis untuk dijadikan wisata religius karena banyak mengandung
sejarah dan peninggalan-peninggalan yang perlu dilestarikan.
Asal mula pemerintahan Kabupaten Madiun awalnya bermula dari
Nguwaran Dolopo dan kemudian pusat pemerintahan dipindahkan ke desa Sogaten.
Pada tahun 1575 berpindah lagi ke Desa Wonorejo atau Kuncen, Kota Madiun sampai
tahun 1590 Pusat pemerintahan Kota Madiun semula adalah "Kuto Miring"
terletak di Desa Demangan Kecamatan Taman Kota Madiun, kemudian digeser ke
utara lagi yaitu ditengah Kota Madiun (sekarang di Komplek Perumahan Dinas
Bupati Madiun). Beberapa peninggalan keadipatian Madiun salah satunya dapat
dilihat di Kelurahan Kuncen, dimana terdapat makam Ki Ageng Panembahan Ronggo
Jumeno, Patih Wonosari selain makam para Bupati Madiun, Masjid Tertua di Madiun
yaitu Masjid Nur Hidayatullah dll. Di Kelurahan Taman juga dimakamkan
pahlawan-pahlawan pada zaman lampau, termasuk Kyai Ronggo (tapi tak jelas
disebutkan yang mana, karena Ronggo ada Ronggo I s/d III) Ali Basah Sentot
Prawirodirdjo adalah putra dari Ronggo II. Pada tanggal 1 Januari 1832 Madiun
secara resmi dikuasai oleh Pemerintah Hindia belanda dan dibentuk suatu Tata
Pemerintahan yang berstatus "Karisidenan". Ibu Kota Karisidenan
berlokasi di Desa Kartoharjo (tempat Patih Kartohardjo) yang berdekatan dengan
Istana Kabupaten Madiun di Pangongangan. Pada tahun 1906 Kerajaan Belanda
mengeluarkan Undang-undang yang bertujuan untuk memisahkan wilayah perkotaan
Madiun dari Pemerintah Kabupaten Madiun.
Sejak awal Madiun merupakan sebuah wilayah di bawah
kekuasaan Kesultanan Mataram. Dalam perjalanan sejarah Mataram, Madiun memang
sangat strategis mengingat wilayahnya terletak di tengah-tengah perbatasan
dengan Kerajaan Kadiri (Daha). Oleh karena itu pada masa pemerintahan Mataram
banyak pemberontak-pemberontak kerajaan Mataram yang membangun basis kekuatan di
Madiun. Seperti munculnya tokoh Retno Dumilah.
Sejak masa Hindia-Belanda, Madiun adalah suatu gemeente yang
berpemerintahan sendiri (swapraja) karena komunitas Belanda yang bekerja di
berbagai perkebunan dan industri tidak ingin diperintah oleh Bupati (yang
adalah orang Jawa). Sebagai suatu kota swapraja, Madiun didirikan 20 Juni 1918,
dengan dipimpin pertama kali oleh asisten residen Madiun. Baru sejak 1927
dipimpin oleh seorang walikota. Berikut adalah walikota Madiun sejak 1927:
1.
Mr. K. A. Schotman
2.
J.H. Boerstra
3.
Mr. L. van Dijk
4.
Mr. Ali Sastro Amidjojo
5.
Dr. Mr. R. M. Soebroto
6.
Mr. R. Soesanto Tirtoprodjo
7.
Soedibjo
8.
R. Poerbo Sisworo
9.
Soepardi
10.
R. Mochamad
11.
R. M. Soediono
12.
R. Singgih
13.
R. Moentoro
14.
R. Moestadjab
15.
R. Roeslan Wongsokoesoemo
16.
R. Soepardi
17.
Soemadi
18.
Joebagjo
19.
R. Roekito, B.A.
20.
Drs. Imam Soenardji
21.
Achmad Dawaki, B.A.
22.
Drs. Marsoedi
23.
Drs. Masdra M. Jasin
24.
Drs. Bambang Pamoedjo
25.
Drs. H. Achmad Ali
26.
H. Kokok Raya, S.H., M.Hum
27.
Drs. H. Bambang Irianto, SH.MM
Sumber:
2 Komentar:
bagus gan
bermanfaat sekali
lanjutgan.
Posting Komentar