Rabu, 12 Februari 2014

Masjid Kuncen dan Sejarah Kota Madiun



Masjid Kuno Kuncen atau Masjid Nur Hidayatulloh adalah masjid tertua yang ada di kelurahan Kuncen, kota Madiun, Provinsi Jawa Timur. Masjid ini mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi, selain karena bangunan masjid serta artefaknya, juga terdapat peninggalan-peninggalan kerajaan terdahulu, terdapat makam para bupati Madiun, terdapat Sendang dan pohon besar yang merupakan asal usul Kota Madiun.
1.      Tanah Perdikan Kuncen
Beberapa  peninggalan Kadipaten/Kabupaten Madiun yang salah satunya dapat dilihat di Kelurahan Kuncen, dimana terdapat makam Ki Ageng Panembahan Ronggo Jumeno, Bupati Mangkunegara I, Patih Wonosari dan para Bupati Madiun lainnya yang merupakan pahlawan-pahlawan pendiri Kota Madiun, selain makam para bupati, Masjid Tertua di Madiun masih kokoh menjadi saksi, yaitu Masjid Nur Hidayatullah, artefak-artefak disekeliling masjid, serta sendang (tempat pemandian) keramat.
2.      Sejarah Masjid Kuno Kuncen
Pada tahun 1568 terjadilah sejarah baru di Kesultanan Demak yang berdampak di daerah Madiun dan sekitarnya. Setelah berakhirnya perang saudara yang dimenangkan oleh Mas Karebet atau Jaka Tingkir yang selanjutnya disebut Hadiwijaya, dengan restu para wali menggantikan kedudukan mertuanya Sultan Trenggono sebagai sultan, tetapi tidak mau berkedudukan di Demak melainkan memindahkan pusat pemerintahannya ke Pajang. Putra Sultan Trenggono lainnya atau adik ipar Sultan Hadiwijaya yang bernama Pangeran Timur oleh Sunan Bonang yang mewakili para wali diangkat menjadi Bupati Madiun pada tanggal 18 Juli 1568, yang selanjutnya disebut panembahan Rama atau Ki Ageng Panembahan Ronggo Jumeno yang memerintah pada tahun 1568 – 1586.
Pada tahun 1575 dengan berbagai pertimbangan  Bupati Pangeran Timur memindahkan pusat pemerintahan dari utara Kelurahan Sogaten ke selatan menuju Keluran Kuncen dulu Wonorejo. Pangeran Timur selaku Bupati disamping berkewajiban mengendalikan jalannya pemerintahan, juga membawa misi penyebaran agama Islam. Pembangunan agama identik atau tidak lepas dengan pembangunan tempat ibadah yaitu masjid. Dengan demikian patut diduga bahwa masjid Kuno Kuncen atau disebut Masjid Nur Hidayatullah pada zaman Bupati Pangeran  Timur memerintah Kabupaten Madiun yang berpusat di sekitar Kelurahan Kuncen dan masjid tersebut berdiri di Kuncen setelah tahun 1575 atau pada akhir abad XVI.
Status wilayah Wonorejo sebagai tanah makam dan juga ada masjid, maka Kyai yang merawat areal tersebut juga bertindak sebagai kepala desa, dan diberi kebebasan menguasai daerah sekitar area makam dan masjid. Kyai Grubug merupakan guru dalam ilmu agama Islam, dan Kyai Grubug  inilah yang pertama kali berkuasa di Desa Perdikan Kuncen ini yang juga mengelola masjid maupun makam, hingga sekarang ada empat belas Kyai yang pernah berkuasa di Desa perdikan Kuncen beserta mengurusi masjid dan makam, diantaranya: 1).Kyai Grubug, 2).Kyai Semin I, 3).Kyai Semin II, 4).Kyai Semin III, 5).Kyai Semin IV, 6). Kyai Djodo, 7).Kyai Muhammad Ngarib, 8).Kyai Kasan Basari, 9).Kyai Muhammad Mardo, 10).Kyai Muhammad Mardi, 11).Kyai Darsono, 12).Kyai Sutopo, 13).Kyai Karsono, 14).Kyai Kentjono
Sebenarnya masjid yang ada di Kelurahan Kuncen itu belum ada nama sama sekali, karena tidak adanya sumber tertulis mengenai nama masjid tersebut. Selanjutnya dari tahun ke tahun nama masjid kuno yang terdapat di Kelurahan Kuncen tersebut dahulu dikenal dengan nama Masjid Kuno Kuncen, kerana keberadaan masjid tersebut berdekatan dengan makam yang terdapat juru kunci kemudian dinamakan kuncen dan juga disesuaikan dengan nama Kelurahan Kuncen karena keberadaan masjid berada di Kelurahan Kuncen, maka dari itu masjid kuno ini dikenal dengan nama Masjid Kuno Kuncen. Selanjutnya pada tahun 1970 warga Kuncen bersepakat merubah nama masjid sebelumnya Masjid Kuno Kuncen diubah nama menjadi Masjid Nur Hidayatullah, walaupun sudah dinamakan Masjid Nur Hidayatullah akan tetapi nama yang masih dikenal oleh warga Madiun sampai sekarang adalah Masjid Kuno Kuncen.
3.      Asal Mula Nama Madiun
Pada masa pemerintahan Ki Ageng Reksogati dan Pangeran Timur nama Madiun belum ada, daerah ini dulu disebut Kadipaten Puroboyo. Asal kata Madiun mempunyai banyak versi, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang, diantaranya yaitu : gabungan dari : kata “medi” (hantu) dan “ayun-ayun” (berayunan), yaitu dikisahkan ketika Ki Mpu Umyang/Ki Sura bersemedi untuk membuat sebilah keris di sendang panguripan (sendang amerta) di Wonosari (Kuncen, sekarang) diganggu gendruwo/hantu yang berayun-ayun di pinggir sendang, maka keris tersebut diberi nama ”Tundung Mediun”. Kemudian cerita lain berasal dari “Mbedi” (sendang) “ayun-ayunan” (perang tanding) yaitu perang antara Prajurit Mediun yang dipimpin oleh Retno Djumilah di sekitar sendang. Kata ”Mbediun” sendiri sampai sekarang masih lazim diucapkan oleh masyarakat terutama di daerah Kecamatan Kare, Madiun. Mereka mengucapkan Mbediun untuk menyebutkan Madiun. Versi berikutnya adalah Madya-ayun yaitu Madya (tengah) ayun (depan). Pangeran Timur adalah adik ipar dan juga salah satu bangsawaan Demak yang sangat di hormati oleh Sultan Hadiwijoyo di Kasultanan Pajang. Pada waktu acara pisowanan beliau selalu duduk sejajar dengan Sultan Hadiwijoyo di Madya ayun (tengah depan). Dan letak sendang ini satu kompleks dengan Masjid Kuno Kuncen, ini sangat strategis untuk dijadikan wisata religius karena banyak mengandung sejarah dan peninggalan-peninggalan yang perlu dilestarikan.
Asal mula pemerintahan Kabupaten Madiun awalnya bermula dari Nguwaran Dolopo dan kemudian pusat pemerintahan dipindahkan ke desa Sogaten. Pada tahun 1575 berpindah lagi ke Desa Wonorejo atau Kuncen, Kota Madiun sampai tahun 1590 Pusat pemerintahan Kota Madiun semula adalah "Kuto Miring" terletak di Desa Demangan Kecamatan Taman Kota Madiun, kemudian digeser ke utara lagi yaitu ditengah Kota Madiun (sekarang di Komplek Perumahan Dinas Bupati Madiun). Beberapa peninggalan keadipatian Madiun salah satunya dapat dilihat di Kelurahan Kuncen, dimana terdapat makam Ki Ageng Panembahan Ronggo Jumeno, Patih Wonosari selain makam para Bupati Madiun, Masjid Tertua di Madiun yaitu Masjid Nur Hidayatullah dll. Di Kelurahan Taman juga dimakamkan pahlawan-pahlawan pada zaman lampau, termasuk Kyai Ronggo (tapi tak jelas disebutkan yang mana, karena Ronggo ada Ronggo I s/d III) Ali Basah Sentot Prawirodirdjo adalah putra dari Ronggo II. Pada tanggal 1 Januari 1832 Madiun secara resmi dikuasai oleh Pemerintah Hindia belanda dan dibentuk suatu Tata Pemerintahan yang berstatus "Karisidenan". Ibu Kota Karisidenan berlokasi di Desa Kartoharjo (tempat Patih Kartohardjo) yang berdekatan dengan Istana Kabupaten Madiun di Pangongangan. Pada tahun 1906 Kerajaan Belanda mengeluarkan Undang-undang yang bertujuan untuk memisahkan wilayah perkotaan Madiun dari Pemerintah Kabupaten Madiun.
Sejak awal Madiun merupakan sebuah wilayah di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram. Dalam perjalanan sejarah Mataram, Madiun memang sangat strategis mengingat wilayahnya terletak di tengah-tengah perbatasan dengan Kerajaan Kadiri (Daha). Oleh karena itu pada masa pemerintahan Mataram banyak pemberontak-pemberontak kerajaan Mataram yang membangun basis kekuatan di Madiun. Seperti munculnya tokoh Retno Dumilah.

Sejak masa Hindia-Belanda, Madiun adalah suatu gemeente yang berpemerintahan sendiri (swapraja) karena komunitas Belanda yang bekerja di berbagai perkebunan dan industri tidak ingin diperintah oleh Bupati (yang adalah orang Jawa). Sebagai suatu kota swapraja, Madiun didirikan 20 Juni 1918, dengan dipimpin pertama kali oleh asisten residen Madiun. Baru sejak 1927 dipimpin oleh seorang walikota. Berikut adalah walikota Madiun sejak 1927:
1.      Mr. K. A. Schotman
2.      J.H. Boerstra
3.      Mr. L. van Dijk
4.      Mr. Ali Sastro Amidjojo
5.      Dr. Mr. R. M. Soebroto
6.      Mr. R. Soesanto Tirtoprodjo
7.      Soedibjo
8.      R. Poerbo Sisworo
9.      Soepardi
10.  R. Mochamad
11.  R. M. Soediono
12.  R. Singgih
13.  R. Moentoro
14.  R. Moestadjab
15.  R. Roeslan Wongsokoesoemo
16.  R. Soepardi
17.  Soemadi
18.  Joebagjo
19.  R. Roekito, B.A.
20.  Drs. Imam Soenardji
21.  Achmad Dawaki, B.A.
22.  Drs. Marsoedi
23.  Drs. Masdra M. Jasin
24.  Drs. Bambang Pamoedjo
25.  Drs. H. Achmad Ali
26.  H. Kokok Raya, S.H., M.Hum
27.  Drs. H. Bambang Irianto, SH.MM


Sumber:

2 Komentar:

Robby Firmansyah Ardha mengatakan...

bagus gan
bermanfaat sekali

jalu mengatakan...

lanjutgan.

Posting Komentar

 
!!!!Ingat pesan BUNG KARNO: JANGAN SEKALI-SEKALI MELUPAKAN SEJARAH!!!!